Mohon tunggu...
Roneva Sihombing
Roneva Sihombing Mohon Tunggu... Guru - pendidik

Penyuka kopi, gerimis juga aroma tanah yang menyertainya. Email: nev.sihombing@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Vaksin Pertama, Alergi dan Piknik Bersama yang Berjarak

2 Juli 2021   01:21 Diperbarui: 2 Juli 2021   01:26 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga minggu yang lalu, aku mendapatkan giliran untuk divaksin. Alih-alih datang jam 8 sesuai dengan informasi dimulainya kegiatan vaksin, aku datang jam 9. Setelah tiba di lokasi, mencuci tangan dan suhu tubuh diperiksa, aku mendapatkan nomor kedatangan. Nomor kedatangan ini bukan nomor antri vaksin, namun nomor giliran untuk pengecekan awal apakah nama sudah didaftarkan sebelumnya. 

Pada saat pengecekan nama, KTP pun harus ditunjukkan. Tentu saja foto KTP sudah dikirimkan sebelumnya sehingga nomor KTP pun bisa diperiksa apakah benar yang bersangkutanlah yang memiliki KTP dan akan ikut divaksin. Saat pengecekan ulang, yang datang lebih dululah, yang lebih dulu dilayani. 

Untuk pengecekan awal, dibuka 2 meja. Sambil menunggu nomor giliran dipanggil, aku dan Ida, seorang teman yang mendapat giliran vaksin di hari dan tempat yang sama, mencari tempat untuk duduk. 

Tak jauh dari kami, ada juga yang sedang menunggu untuk dipanggil. Tidak cukup tempat duduk yang disediakan. Maka, ada sebagian yang duduk di bawah pepohonan, ada yang berdiri di areal parkir dan sebagian lagi menyebarkan ke beberapa tempat yang bisa diduduki. 

Ketika sedang berbincang, aku sesekali melihat ke sekitar sambil melihat petugas yang memanggil nomor giliran daftar, barangkali saja sudah tiba giliran kami. Nomor masih di sekitar angka 150an, sedangkan namor kami berdua ada di angka 270an. 

Cukup panjang untuk berbincang dari mana ke mana.. :) Keadaan pandemi seperti sekarang dan demi mensukseskan gerakan menjaga jarak, membuat kami jarang berjumpa. Sehingga, kami tidak merasa bosan dengan segera karena persediaan cerita masih sangat banyak. Hehehe.. 

Aku lihat sekeliling lagi. Kesadaran menerima vaksin terus hadir. Ada yang membentuk kelompok dua-dua, ada yang tiga-tiga orang. Asyik masing-masing. Masing-masing menjaga jarak. Masing-masing mengenakan masker. Beragam warnanya sekalipun bukan pelangi. Ada juga yang menggunakan masker 2 lapis. 

Ketika tiba giliran KTP kami diperiksa, kami menerima nomor giliran menerima vaksin. Masuk ke sebuah ruangan berisi calon penerima vaksin yang sedang menunggu giliran. Duduk berjarak sambil berbincang santai. Seperti sedang piknik bersama, namun berjarak. :) 

Tersedia 4 meja untuk melayani peserta vaksin. Peserta yang akan menerima vaksin akan melakukan wawancara singkat berkenaan dengan kesehatan (apakah alergi pada obat tertentu atau menderita sakit tertentu) untuk layak atau tidaknya menerima vaksin. Setelah wawancara singkat, suhu tubuh (lagi) dan tensi darah pun diperiksa. Lolos dari tahap ini, barulah calon penerima vaksin menerima suntik vaksin. 

Tidak semua bisa lolos dari pengecekan suhu tubuh dan tensi darah. Salah seorang teman, ketika diperiksa bersuhu 37,5 derajat . Dia harus minum air dan menunggu sekitar 10 menit untuk pengecekan suhu sekali lagi. 

Setelah bersuhu tubuh dibawah 37,5 derajat, barulah dia menerima vaksin. Tensi darah yang rendah dan tinggi pun bisa membuat calon penerima vaksin pulang sebelum menerima vaksin. Jadi, orang yang ingin divaksin saja, belum tentu bisa menerima vaksin. 

Sekitar 15 menit setelah divaksin, ketika sedang menunggu lembar yang membuktikan bahwa vaksin pertama telah diberikan, aku merasa panas menggigit dari dalam kulit pada lipatan bagian dalam siku kanan. Tak lama kemudian, terbentuk bentol berukuran kecil dalam jumlah agak banyak. Rasa panasnya seperti tertinggal di sana, lalu muncul warna kemerahan. 

Aku segera maju dan melaporkan keadaan tersebut pada perawat yang menyuntikku. Dengan sigap bu perawat melaporkan keadaanku kepada dokter yang bertanggung jawab. 

Bu dokter segera menelpon seseorang di ujung sana untuk melaporkan keadaan seorang penerima vaksin yang mengalami alergi, sedangkan bu perawat segera mempersiapkan cairan suntik anti alergi (Dexametasol 0,75 mg). 

Untuk keperluan observasi, aku tidak diperkenankan pulang setelah menerima suntikan anti alergi. Setiap 15 menit, selalu ada dokter atau perawat yang menghampiri untuk mengamati kondisi kulit lenganku. Kulit memerah makin berkurang, juga bentolnya. Setelah 1 jam, aku diizinkankan pulang. Kulit kemerahan dan bentol sudah mereda.

Beberapa hari kemudian
Setelah divaksin, aku menerima telepon dari perawat . 

Hari itu, dari hampir 300 orang yang divaksin, hanya aku yang mengalami alergi setelah disuntik. Karena itu, namaku akan didata dan dilaporkan ke dinas terkait bersama dengan penerima vaksin lain yang mengalami kejadian ikutan setelah vaksin. Istilahnya KIPI, Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. 

Aku sangat mengerti hal ini. Setiap dampak yang terjadi setelah vaksin akan menjadi bahan evaluasi apakah vaksin tertentu cocok atau tidak untuk dikonsumsi dalam jangka sangat panjang. 

Yang menjadi pertanyaan dalam hatiku, kenapa nama ayah dan ibu ditambahkan sebagai info. Apakah nama ayah dan ibu memberikan pengaruh terhadap keadaan kulitku yang memerah setelah divaksin? 

Ketika aku tanyakan hal tersebut pada perawat tersebut, bu perawat mengatakan bahwa format tersebutlah yang diberikan pada mereka untuk diisi jika ada KIPI non serius. 

Sedangkan menurutku, bukannya lebih baik ditambahkan kolom untuk diisi berupa riwayat medis selama 10 tahun terakhir baik dioperasi dan dirawat baik dirawat di rumah sakit maupun di rawat jalan.
***

Dari bincang-bincang dengan  sesama calon penerima vaksin lain sembari menunggu, aku mendapat tahu, ada juga yang KIPInya adalah tubuh muncul ruam merah sekujur tubuh selama 3 hari.

Ruam merah ini justru muncul setelah meninggalkan lokasi vaksin. Jadi, pengalaman masing-masing setelah vaksin pertama berbeda satu dengan yang lain. Ada yang merasa biasa saja. Di sisi lain, setelah vaksin ada yang merasa mual, ada yang merasa lapar lebih sering, ada yang mengantuk lebih kerap.
***

Minggu depan, aku terjadwal menerima vaksin tahap 2. 

Apakah akan mengalami alergi lagi setelah divaksin, aku masih belum tahu. Sesaat setelah menerima lembar bukti telah divaksin, aku bertanya pada perawat yang menyuntikku, apakah aku boleh mengkonsumsi obat alergi sebelum divaksin. Perawat menyarankan aku melakukannya.

Mungkin saja aku membekali diri dengan Dexametasol 0,75 mg. Atau, menguatkan hati menerima suntikan tambahan jika alergi muncul (lagi). Vaksin 2 kali, disuntik 4 kali. Sungguh luar biasa pengalaman imunisasiku.
***
Catatan dari kotaku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun