Areal parkir di lokasi tersebut belum bisa menampung jumlah kendaraan yang terus berdatangan. Dengan bidang yang seadanya, para pemilik kendaraan mengatur secara mandiri kendaraan mereka sambil membiarkan ruang yang secukupnya bagi lalu lintas masuk keluarnya kendaraan dari lokasi parkir tersebut.
Beberapa anak muda yang menolong para pemilik kendaraan terus mengatur kendaraan supaya punya akses masuk dan keluar yang mudah bagi kendaraan.
***
Aku baru mengetahui tentang Buntu Burake justru sesudah tiba di wilayah Sulawesi Selatan. Tepatnya di Fort Rotterdam. Bukan. Buntu Burake bukanlah di dekat Fort Rotterdam. Jauh sekali, malah. Fort Rotterdam di Makassar dan berada di dekat laut, sedangkan Burake di Toraja dan berada di perbukitan.
Ketika aku sedang beristirahat di salah satu bagian atas Fort Rotterdam, aku berkenalan dengan dua orang wisatawan lokal. Separuh lokal, tepatnya. Ibu tersebut mengunjungi Fort Rotterdam bersama anak laki-laki tunggalnya. Domisili mereka di Palangkaraya, Kalimantan, namun orangtua si ibu tersebut di Makassar. Si anak sedang libur sekolah ketika kami bertemu.
Dalam perbincangan tersebut, si ibu menyebutkan tentang Buntu Burake dengan patung Tuhan Yesus sambil menunjukkan video tentang lokasi wisata tersebut ketika kemudian aku menyaksikan adanya jembatan kaca.
Ini tentang jambatan kaca. Bisakah membayangkannya?
Ada jembatan kaca mengelilingi separuh patung. Membayangkan kaca, aku membayangkan sebuah benda rapuh yang tidak pernah sanggup menahan massa benda apapun tanpa khawatir tidak pecah..
Aku merasa takjub bukan buatan. Belum lagi tiba di jembatan kaca tersebut, aku sudah membayangkan berjalan di jembatan kaca tersebut, melihat ke bagian bawah kaca sambil menyaksikan barisan rumah-rumah mini dan merasa gentar tak terkira. Campuran takjub dan gentar.