Kami mendapatkan informasi bahwa Londa sangat ramai di bulan Desember. Karena banyak perantau yang pulang dan melaksanakan pesta adat di tempat tersebut.
Kemudian, kami melanjutkan perjalanan menuju gua alam yang merupakan pekuburan tersebut. Sebelum menaiki tangga, seorang pemandu menawarkan jasa mendampingi kami sekaligus menawarkan lampu petromax sebagai penerang di dalam gua. Dan mengingatkan kami bahwa jasa pandu darinya tidak dipatok nominal uang. Boleh serelanya.
Pemandu Londa yang menemani kami memasuki kuburan kapur tersebut sudah memulai pekerjaan ini sejak masih sangat muda. Anak pertamanya, yang kelas 2 SMP juga sudah mulai menjadi pemandu di Londa. Kebanyakan yang menjadi pemandu sudah memulainya sejak usia muda dan nyaris semua berasal dari klan keluarga yang sama.
Bagi mereka, menjadi pemandu di Londa merupakan salah satu kebanggaan, baik kebanggaan keluarga maupun kebanggaan pribadi.
Jika Italia punya Romeo dan Juliet, sejoli yang hubungan mereka tidak direstui oleh orangtua kedua belah pihak, yang dikisahkan dengan apik oleh William Shakespeare, maka Londa pun memiliki kisah yang hampir serupa.
Dua sejoli ini berjumpa di perantauan. Setelah beberapa waktu menjalin hubungan, berdua memutuskan untuk pulang dan memberitahu orangtua dari kedua belah pihak memohon restu untuk menikah.Â
Sayangnya, setelah ditelusuri hubungan kekerabatan, didapatilah bahwa keduanya masih memiliki hubungan darah. Orangtua menolak rencana pernikahan mereka, kerabat menyarankan mereka berdua untuk segera berpisah.Â
Putus asa tidak dikenan untuk saling memiliki selama hidup, berdua memutuskan mati bersama. Jasad mereka diletakkan di Londa, karena sesungguhnya Londa adalah kuburan keluarga satu klan. Sampai kini, kita masih bisa melihat tengkorak mereka yang berdampingan.
***