Mohon tunggu...
nety tarigan
nety tarigan Mohon Tunggu... Konsultan - Perempuan AntiKorupsi

Bekerja dengan masyarakat khususnya anak dan perempuan untuk mendorong mendapatkan keadilan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyoroti Hubungan Peningkatan Ekonomi di Bireuen

5 September 2018   17:39 Diperbarui: 5 September 2018   17:42 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengetahui pemberitaan media terkait Bupati Bireuen yang mengeluarkan fatwa haram non muhrim ngopi semeja, sebenarnya bagi saya sebagai perempuan merasa bahwa kebijakan ini sungguh membuat gagal paham untuk bisa memahami maksud dan tujuan dari kebijakan ini. 

Kebijakan yang dibuat dari uang hasil pajak masyarakat faktanya tidak memberikan umpan balik yang positif bagi masyarakat itu sendiri khususnya perempuan. Sungguh dirasa produk hukum kabupaten Bireuen tersebut sangat kontradiksi dengan peningkatan ekonomi, dimana saat ini harusnya digalakan dengan masiv guna membantu pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bireuen untuk keluar dari tingkat kemiskinan.

Jika kita menyoroti hubungan peningkatan ekonomi dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Bupati Bireuen asal Partai Golkar ini, sangat disadari bahwa kebijakan tersebut berpotensi menurunkan tingkat pendapatan daerah Kabupaten Bireuen. 

Mengapa demikian? Seperti kita ketahui bahwa ngopi atau minum kopi merupakan salah satu pemacu perekonomian di Provinsi Aceh. Siapa yang tidak kenal dengan kopi arabica dari aceh? Kopi aceh sudah dikenal di seluruh Indonesia bahkan mancanegara. 

Penikmat kopi pun tidak hanya laki-laki tetapi perempuan juga, dengan rata-rata umur mulai muda hingga yang sudah berumur atau tua. Penghasilan kopi di Aceh sudah menjadi sumber pendapatan daerah yang dipercaya diseluruh Kabupaten Aceh.

Secara sosial, ngopi-ngopi bareng merupakan ajang untuk bertemu satu dengan lainnya sebagai mahluk sosial tanpa dibatasi oleh status baik dia laki-laki maupun perempuan. ngopi di warung kopi ataupun cafe di Aceh memiliki nilai tersendiri bagi penikmat kopi. Hampir setiap sudut di Aceh bertaburan warung kopi ataupun cafe yang kekinian yang menyuguhkan kopi khas aceh. 

Bahkan ngopi itu sendiri dapat dikatakan seperti ciri bagian budaya warga Aceh, hal itu terbukti dengan setiap pendatang yang berkunjung ke Aceh, pasti mencari kopi aceh sebagai bukti sudah ke Aceh.

Jika pemerintah daerah bijak, maka warung kopi atau pun cafe kopi dapat dijadikan sumber ekonomi daerah untuk menambah pendapatan daerah serta meningkatkan tenaga kerja di aceh dengan memperluas perkebunan kopi di Aceh untuk menyediakan kopi bagi warung kopi dan cafe kopi. Jika alur itu dijaga dengan baik, sudah pasti Aceh akan mendapatkan keuntungan yang besar baginya. 

Akan tetapi kebijakan yang dikeluarkan oleh Bupati Bireuen tersebut dengan pasal 7 dan pasal 13 nya dimana kebijakan tersebut menyebutkan bahwa Penjaja kopi di warung ataupun di cafe dilarang melayani pelanggan wanita di atas pukul 21.00 WIB, kecuali bersama mahramnya, sangat menghambat pertumbuhan perekonomian warung kopi atau cafe dimana membangun usaha dengan modal yang sangat minim. 

Pembatasan ruang gerak perempuan untuk ngopi-ngopi cantik setelah pukul 21.00 WIB membuat alur uang yang tidak dapat berjalan dengan baik. Padahal ngopi-ngopi biasanya dinikmati perempuan dan laki-laki sehabis pulang kerja atau sudah waktu malam ketika semua urusan telah selesai.

Slain itu terkait ekonomi, dengan berjamurnya warung kopi atau cafe kopi di Bireuen membuktikan bahwa banyak pemodal yang berharap dapat mendapat keuntungan tiap harinya dari penjualan kopi kepada customer perempuan dan laki-laki dari pagi hingga malam hari. 

Akan tetapi kebijakan pembatasan waktu berdampak terharap pengusaha kopi dengan turunnya opset dari penjualan kopi karena berkurangnya customer khususnya customer perempuan untuk membeli kopi. Selain itu pada pasal ini, terbaca bahwa ada kebijakan sisipan untuk melarang perempuan keluar malam. 

Selain itu ngopi bareng merupakan hiburan bagi masyarakat Aceh pada umumnya dan Bireuen pada khususnya. Tidak hanya mereka, bagi penlancongpun ngopi-ngopi juga merupakan hiburan mengingat terbatasnya ruang publik hiburan di aceh. 

Jika perempuan tidak bisa duduk semeja dengan lawan jenisnya, maka hal tersebut dapat berdampak terhadap interaksi sosial perempuan dan laki-laki dimana interaksi lawan jenis sangat dibutuhkan. 

Selain itu kebijakan yang mengijinkan perempuan duduk dengan muhrimnya, terasa tidak tepat karena biasanya para orang tua khususnya ibu jarang sekali ke warung kopi/cafe karena lebih memiliki menjaga anak ketika malam. Jika dilihat potensi customer maka customer yang paling potensial bagi pengusaha warung kopi atau cafe kopi adalah anak muda baik dia perempuan dan laki-laki. Lalu bagaimana bisa mendongrak opset jika pembatasan gerak sudah dijadikan aturan.

Sulit memang ketika semua daerah dengan mengalakan kebijakan untuk mendorong perekonomian masyarakat dengan kekuatan masyarakat itu sendiri, akan tetapi bireuen menjadi daerah yang malah berbalik arah dari kebijakan daerah daerah lain di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun