Mohon tunggu...
NETTY Fs
NETTY Fs Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Belajar merangkai kata untuk sebuah makna

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan Batu Karang

2 Juli 2013   15:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:07 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan Batu Karang

Aku seorang wanita karier yang bekerja, menghabiskan waktuku lebih banyak di tempat kerja dari pada dirumah. Dirumah aku tetap menjadi seorang ibu yang memasak untuk anak ku kadangkala untuk suamiku yang kebetulan bekerja di daerah yang berbeda dari rumah kami. Suamiku bekerja diluar Jawa, sehingga jarang sekali pulang untuk mengunjungi kami. Tetapi bagiku dia adalah suami yang baik, sebelum malapetaka hal yang membuatku menyimpan sesuatu darinya.

Bunga, seperti namaku, aku terlihat lebih segar, manis, muda dari usia ku itu pendapat beberapa temanku, yang sebenarnya usiaku sudah menginjak 30 tahun. Beberapa lelaki selalu ingin berusaha dekat, mereka mengira aku masih sendiri. Ya aku memang selalu sendiri, suamiku Andre orang yang tidak terlalu romantis, bahkan terasa sangat jauh dari romantis. Semakin terasa jauh karena dia bekerja dilokasi yang berbeda dari tempat tinggal kami, aku merasa semakin kehilangannya.

Andre tak pernah khawatir aku atau anak kami akan kerkurangan. Hal ini mungkin karena dia berfikir aku dapat menyelesaikan masalah – masalah sendiri, apapun itu, masalah rumah, finansial, karier bahkan masalah yang dia hadapi dapat kuselesaikan. ‘Jagoan’ku berkata Mama adalah ‘Wonder Woman’, ya seperti itulah aku dimata anak ku yang semata wayang. Bersama Putra nama anak kami sering aku menghabiskan waktu, jalan sore, berenang ataupun sekedar dia memijit kaki – kakiku yang lelah.

Putra anak yang baik, dia cepat sekali dewasa walaupun usianya baru 8tahun, tetapi dia sudah dapat memahami masalah yang kami hadapi. Suatu hari Putra bertanya Mama, Papa kenapa jarang pulang?, ehm, kalaiu sudah seperti ini, aku ingin tiba – tiba saja mulutku menjadi bisu tidak dapat berbicara. Aku akhirnya hanya bisa bilang bahwa papanya sibuk sekali sehingga susah untuk pulang bahkan untuk sekedar menelpon.

Suatu sore yang tentu saja membuatku lelah karena pekerjaan – pekerjaan yang terasa semakin berat. Tiba – tiba saja bel rumahku berbunyi dengan langkah yang berat aku beranjak, karena ‘jagoan’ku sedang pergi menghabiskan sore hari dilapangan sepak bola kegemarannya. Dua orang lelaki sudah berdiri dihadapanku, salah satu dari mereka memperkenalkan diri sebagai pegawai Bank. Aku merasakan keanehan karena tidak pernah menjalin hubungan dengan Bank tersebut. Ternyata dia menanyakan keberadaan suamiku, mereka menunjukkan sejumlah transaksi keuangan, aku tidak terlalu heran dengan hal tersebut. Suamiku bekerja pada perusahaan yang memang sering terkait perbankan. Tetapi mataku tiba – tiba terasa mau keluar, karena ada nama dan tandatanganku disana, yang aku ketahui bukanlah tandatanganku. Ya Tuhan apa lagi ini, kepala ku tiba- tiba saja terasa berdenyut. Pada hal sepulang kantor tadi yang kurasakan lelah hanya pada jemari dan kaki-kaki ku. Pegawai Bank itu mengatakan bahwa batas waktu pembayaran yang seharusnya dilakukan suamiku telah lewat 4 bulan, dan dia mencantumkan nama dan KTP ku sebagai tanda persetujuan Istri.

Tidak banyak kata yang keluar dari mulutku, aku hanya menjanjikan pada mereka bahwa suamiku akan segera kuhubungi untuk meyelesaikan tunggakkan transaksi itu. Sepertinya mereka juga tidak tega memaksaku, karena ekspresi polosku yang tidak pernah merasakan satu rupiahpun dari uang yang di gunakan suamiku. Mereka pergi dengan tangan kosong, karena aku tidak bersedia menyelesaikan piutang suamiku.

Aku bukan tipe istri yang rela bertengkar hanya karena rupiah, kubiarkan suamiku dengan permasalahannya. Aku tak pernah ingin membahas sesuatu yang malah akan membuatku terasa ingin mengakhiri hidup ini.

Waktu terus berjalan aku merasa aku semakin sendiri dengan sejuta masalah finansial yang harus ku hadapi sendiri. Ditengah kesendirian ku seorang teman meminjamkan bahunya untuk ku bersandar. Walaupun dimata anakku aku adalah seorang wanita yang kuat tetap saja aku perempuan yang memerlukan dada lelaki tempat ku menumpahkan segala sesak kehidupan ini. Bersamanya kurasakan kedamaian yang tidak kudapatkan bersama suamiku. Temanku seoarng suami yang baik, penyayang, lembut bukan karena ia ingin menarik hatiku. Tetapi memang seperti itulah tipikalnya, aku sering mendengarnya memanggil manja anak perempuan kesayangannya. Tio buatku seoarang ayah yang hebat, sebagai ayah kebutuhan finansial anak dan istrinya hampir tidak kekurangan, kasih sayang apalagi.

Tio menemaniku melewati waktu – waktu sulitku, kami sering berkomunikasi sesekali lewat telephon genggam, atau pun saling mengirim pesan singkat. Seperti orang bilang, cinta dan kasih sayang dapat tumbuh dari kebersamaan. Kebersamaan ku bersama Tio terus berjalan, kata – kata mesranya membuat tidurku terasa pulas, karena melupakan segala beban yang kuhadapi. Aku bebas saja karena suamiku bekerja ditempat yang jauh, tetapi tidak dengan Tio sesekali bahkan berkali – kali, aku akhirnya menyakiti perempuan setegar batu karang yang bersamanya. Ya, Indah istri Tio, bagiku dia adalah wanita yang hebat. Walaupun sudah beberapa kali mengetahui kalau suaminya memiliki wanita idaman lain, dia tetap saja kuat. Sekalipun dia belum pernah mendatangiku, atau melabrak seperti para istri pada umumnya yang tahu bahwa suaminya memilki hubungan dengan perempuan lain.

Tentu saja aku merasa bersalah, apalagi Tio, aku tahu sebelumnya dia tidak pernah melakukan hal ini. Kami sempat jauh, tidak lagi saling menyapa lewat pesan singkat ataupun menelphon. Tetapi benih – benih itu telah sempat tertanam dan akhirnya membuat kami tak mampu untuk berpisah. Entah kapan dan bagaimana, cerita yang sempat terputus, akhirnya berlanjut.

Sayang aku sudah tak bisa lagi jauh darimu, itu yang keluar dari mulut kami masing- masing. Ah begitu indahnya andai saja kami adalah sepasang remaja tentu saja kami tidak lagi memikirkan bagaimana selanjutnya. Tanpa terasa 6 bulan berjalan, hubungan kami bagaikan Romeo dan Juliet.

Sedangkan hubunganku dan suami terasa semakin renggang dengan masalah – masalah yang terus menghunjam. Suatu hari ku ungkap keinginanku untuk berpisah dari suamiku, aku sudah tak bisa lagi menahan diri, karena untuk kesekian kali orang datang menagih hutang – hutang suami. Aku berusaha meletakkan masalah ku berdiri sendiri tanpa dipengaruhi oleh hubunganku dengan Tio. Aku tak ingin mengambil keputusan yang salah. Bukan karena aku tidak mencintai Tio ataupun sebaliknya. Tetapi karena aku tak ingin lagi menyakiti perempuan tegar itu, seperti rapuhnya aku, aku yakin dia pun hanya perempuan yang tak ingin berbagi suami dengan perempuan manapun.

Suami berat hati menanggapi keinginan ku, Mama begitu sapanya biarlah papa coba untuk memperbaikinya. Aku sudah kehilangan kepercayaan meskipun kini aku juga tidak dapat dipercaya. Kukatakan padanya bahwa ini adalah jalan terbaik yang bagi hubungan kita. Aku sudah lelah, lelah untuk menyesaikan semua masalah ini. Aku ingin tidur, tanpa memikirkan semua persoalan yang dihadapi. Ombak terus menerpa, keluargaku tak menginginkan kami berpisah. Mereka menganggap suamiku adalah suami terbaik didunia ini. Dan jika aku berpisah darinya maka aku tak akan pernah menemukan pria sepertinya, karena aku sudah meninggalkannya. Ini bukan karena memang seperti itu kenyataannya, tetapi karena aku seorang istri yang selalu menutupi aib suaminya. Aku tak pernah bercerita bagaimana kondisi rumahtangga kami, aku tak ingin kedua orang tuaku menanggung beban yang diderita anaknya. Bagiku cukuplah mereka mendengar kebahagian walaupun kadang hanya cerita belaka.

Tio tetap menemaniku, biarlah waktu habis memakan usia tetapi kasih sayangnya akan tetap diberikannya padaku, puisi indah yang sangat melekat dibenakku dan tak pernah ingin aku menghapusnya. Meski kadang kami harus bersabar karena meredam suasana hati Indah. Jika itu terjadi aku merasa seperti tanaman kering yang selalu butuh air sebagai penyejuk. Ya bagiku hanya bait-bait katanya lah yang dapat membuat aku tetap bersemangat menjalani hidup ini. Bagiku malam begitu terasa panjang tanpa sapaan khas malamnya, ucapan selamat tidurnya dibarengi ketulusan hatinya begitu menjadi obat lelahku.

Hari yang tak pernah ingin dilalui pasangan suami istri, yaitu ikrar perceraian akhirnya datang. Aku merasa seharusnya aku lebih bersabar, kenapa aku tidak menjadi seperti istri Tio, yang telah kehilangan separuh dari hati suaminya tetapi tetap tegar. Ternyata aku bukan batu karang, Indah lah batu karang itu. Aku hanya kerikil halus yang mudah sekali terbang terbawa angin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun