Senin, 4 Mei 2020, Komisi IX DPR RI melakukan Rapat Kerja dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Materi yang dibahas terkait situasi terkini upaya percepatan penanganan Covid-19 di Indonesia.
Dalam pemaparannya, Kemenkes mengatakan sudah melakukan 14 penetapan PSBB di sejumlah Provinsi/Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Di antaranya: Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat, Kota Makassar, Kabupaten Gowa, dan lain-lain.
PSBB di DKI Jakarta disebut-sebut telah membuat kasus Covid-19 menurun secara konsisten sejak awal Mei lalu. Data dari  situs corona.jakarta.go.id, Senin (4/5/2020), kasus baru pada hari ini tercatat ada 55 kasus. Terakhir kali Jakarta mencatatkan kasus baru yang lebih rendah dari hari ini adalah pada 31 Maret lalu dengan 14 kasus baru.
Berikut adalah catatan jumlah kasus baru, atau penambahan kasus positif COVID-19 per harinya, dalam sepekan terakhir di Jakarta:
28 April: 118 kasus baru
29 April: 83 kasus baru
30 April: 105 kasus baru
1 Mei: 145 kasus baru
2 Mei: 72 kasus baru
3 Mei: 62 kasus baru
4 Mei: 55 kasus baru
(Data terakhir, 5 Mei 2020, jumlah kasus positif di DKI Jakarta justru mencapai lonjakan tertinggi dengan 148 kasus baru - Kompas.com)
Sayangnya, walaupun di DKI Jakarta jumlah kasus Covid-19 menurun, jumlah kasus secara akumulatif di Indonesia justru terus meningkat. Per 5 Mei 2020, pertambahan kasus positif secara nasional mencapai 395 dengan total  11.587 orang terinfeksi.
Dalam amatan saya, hal ini terjadi karena masih banyak daerah-daerah yang belum menerapkan PSBB. Bahkan  di wilayah yang sudah diberlakukan pun, implementasinya masih banyak pelanggaran. Kita masih melihat  banyak masyarakat yang melakukan kegiatan berkumpul dan tidak peduli protokol kesehatan Covid-19.
Bahkan dari media sosial kita mengetahui masih banyak masyarakat yang melakukan ngabuburit menjelang waktu berbuka puasa -- Â dengan beramai-ramai dan berkumpul. Jadi tidak heran, jika kasus Covid-19 masih tinggi secara jumlah akumulatif nasional.
Saya khawatir, tingginya jumlah kasus Covid-19 di Indonesia ini bagi pemerintah hanya dilihat sebagai masalah statistik. Hal ini tercermin dari bagaimana pemerintah melalui Menko Polhukam justru sedang mengkaji relaksasi atau pelonggaran PSBB di tengah masih meningkatnya kasus positif Covid-19.
Wacana ini jadi tampak begitu aneh, terburu-buru, dan tidak peduli dengan fakta di lapangan. Apalagi alasannya karena masyarakat kesulitan berbelanja, kesulitan keluar dan jadi stres karena banyak pembatasan. Tidak berlebihan kalau saya katakan sembrono.
Padahal seharusnya pemerintah menggencarkan penerapan  PSBB, bahkan, menurut saya seharusnya diberlakukan  secara nasional. Penerapan PSBB yang dilakukan tidak harus sama di setiap daerah mengingat demografi yang berbeda.
Misalnya, bentuk PSBB di Jakarta tidak harus sama dengan di Kalimantan, begitu juga di Sulawesi. PSBB di daerah perkotaan tentu berbeda dengan di daerah pedesaan. Jadi yang diperlukan adalah variasi PSBB bukan relaksasi.
Selain itu pemerintah juga harus punya jawaban untuk lokasi-lokasi padat penduduk yang sulit untuk diterapkan PSBB. Sebagaimana yang dilansir BBC, di Kali Anyar, Jakarta Barat satu rumah tingkat dua berukuran 6x12 meter bisa dihuni oleh 23 orang. Bagaimana memberikan solusi PSBB untuk kondisi seperti ini?
Pemukiman-pemukiman padat penduduk tersebut tidak mungkin diterapkan PSBB sebagaimana dalam artian yang telah disampaikan pemerintah. Mustahil meminta masyarakat untuk tinggal di dalam rumah dengan tingkat kepadatan seperti itu.
Fenomena maupun kondisi lapangan yang bisa kita lihat secara gamblang ini membuat kita yakin akan satu hal; penanganan Covid-19 di Indonesia membutuhkan nafas panjang.
Pada sisi lain kita juga ditunjukkan fakta menyedihkan, di mana pemeriksaan tes Covid-19 Â masih sangat lambat. Banyak Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang tidak selesai diperiksa sampai meninggal atau bahkan belum sempat diperiksa sama sekali.
Hal ini sangat disayangkan mengingat negara kita sebagai Ketua Sektor Kesehatan ASEAN, tapi justru kalah dalam penanganan Covid-19 dengan negara ASEAN lain seperti Malaysia dan Vietnam.
Bahkan hari ini, saat di mana pemerintah kita masih sibuk menjelaskan perbedaan antara kata mudik dengan pulang kampung, jutaan anak di Vietnam sudah bisa kembali bersekolah. Hal ini bisa dilakukan karena setelah 17 hari berturut-turut, tidak ada kasus baru Covid-19 di negara tersebut.
Tampaknya  kita memang butuh nafas  lebih panjang dalam menghadapi Covid-19, apalagi jika wacana relaksasi diberlakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H