Mohon tunggu...
Hammad Rosyadi
Hammad Rosyadi Mohon Tunggu... -

Seorang penulis freelance yang baru terjun ke dunia maya bulan agustus lalu. Kunjungi: http://nettik.net

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menelisik Sejarah dan Pelajaran dari Piagam Madinah

18 Mei 2017   09:10 Diperbarui: 18 Mei 2017   09:30 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika telah tinggal di Madinah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai mengondisikan hubungan antar person di Madinah. Tentang maksud tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat satu kesepakatan yang dikenal dengan sebutan Shahîfah atau kitâb atau lebih dikenal sekarang dengan sebutan watsîqah (piagam). Mengetahui betapa urgent piagam ini saat menata orang-orang Madinah yang beraneka ragam, maka mayoritas ahli sejarah berusaha membahas dan meneliti piagam ini untuk memahami strategi serta peraturan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menata rakyatnya. Dari hasil penelitian mereka ini, sebagian dari mereka berbeda pendapat mengenai keabsahannya.

SEJARAH PENULISAN PIAGAM

Ilustrasi Perjanjian Nabi
Ilustrasi Perjanjian Nabi
Penulis kitab as Sîratun Nabawiyah as Shahîhah berkata, “Pendapat terkuat mengatakan bahwa piagam ini dasarnya terbentuk dari 2 piagam berbeda yang disatukan oleh ulama-ulama ahli sejarah. Satu perjanjian berisi seputar kesepakatan dengan orang-orang Yahudi dan bagian yang lain menjelaskan kewajiban dan hak kaum muslimin, termasuk Anshâr dan Muhâjirîn. Dan menurutku, pendapat yang lebih kuat adalah yang menyatakan bahwa perjanjian dengan Yahudi ini ditulis sebelum perang Badar berkobar. Adapun piagam kesepakatan untuk kaum Muhâjirîn dan Anshâr ditulis pasca perang Badar.

Imam Ibnu Jarir Ath-Thabariy rahimahullah mengatakan : “Setelah selesai perang Badar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap di Madinah. Sebelum perang Badar berkecamuk, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menyusun perjanjian dengan Yahudi Madinah agar kaum Yahudi tidak menolong siapa saja yang melawan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (sebaliknya-pent) jika ada musuh yang hendak menyerang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota Madinah, maka kaum Yahudi harus membantu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah Rasulullah berhasil mengalahkan orang-orang kafir Quraisy dalam perang Badar, kaum Yahudi mulai menampakkan kedengkian mereka dan mulai melanggar perjanjian. ”

Adapun kisah yang tercatat dalam Sunan Abu Daud rahimahullah menceritakan, bahwa setelah terbunuhnya Ka’ab bin al Asyrâf (seorang Yahudi yang sering menyakiti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah), maka orang-orang Yahudi dan musyrik madinah mengeluhkan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengajak mereka untuk membuat sebuah perjanjian yang harus sama-sama dipatuhi. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis perjanjian antara kaum Yahudi dan kaum muslimin.

PIAGAM MADINAH DARI SEGI POLITIK

Kepemimpinan Rasulullah di Madinah tidak terbatas bagi kaum muslimin saja. Lebih dari itu, beliau pada hakikatnya memimpin satu kota Madinah keseluruhannya, termasuk orang-orang Badui dan Yahudi. Kepemimpinan beliau bahkan juga mencakup beberapa kabilah yang tinggal di sekitar Madinah. Hal ini tidak terlepas dari luasnya kekuasaan dua suku utama yang ada pada kaum Anshar yang telah tinggal ratusan tahun di Madinah, yaitu Aus dan Kazraj.

Oleh karena kedua suku tersebut tunduk pada Nabi, maka otomatis daerah-daerah kekuasaan mereka juga tunduk pada kepemimpinan Baginda Shallallahu 'Alayhi wa Sallam. Tunduk di sini maknanya adalah mematuhi keputusan-keputusan yang dibuat oleh Nabi dan tidak boleh memberontak kepada Nabi dan kaum Muslimin.

Akan tetapi ada hal yang unik yang berbeda pada diri Rasulullah, dibanding dengan pemimpin-pemimpin lainnya, terutama di masa-masa tersebut. Meskipun Rasulullah memiliki kuasa penuh terhadap kaum Yahudi, kaum Muslimin dan orang-orang Badui, beliau tidak bertindak semena-mena terhadap mereka. Bahkan dalam menentukan poin-poin dalam piagam Madinah, beliau tetap berbuat adil terhadap orang-orang yang dalam keyakinannya tidak sama dengan beliau dengan tetap mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan satu sama lain.

Meskipun pada akhirnya kesepakatan ini akhirnya usai, tapi usainya kesepakatan atau piagam Madinah ini bukanlah karena kesewenang-wenangan mayoritas orang yang ada di Madinah tersebut, akan tetapi karena pengkhianatan orang-orang Yahudi itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun