Ketika telah tinggal di Madinah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai mengondisikan hubungan antar person di Madinah. Tentang maksud tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat satu kesepakatan yang dikenal dengan sebutan Shahîfah atau kitâb atau lebih dikenal sekarang dengan sebutan watsîqah (piagam). Mengetahui betapa urgent piagam ini saat menata orang-orang Madinah yang beraneka ragam, maka mayoritas ahli sejarah berusaha membahas dan meneliti piagam ini untuk memahami strategi serta peraturan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menata rakyatnya. Dari hasil penelitian mereka ini, sebagian dari mereka berbeda pendapat mengenai keabsahannya.
SEJARAH PENULISAN PIAGAM
Imam Ibnu Jarir Ath-Thabariy rahimahullah mengatakan : “Setelah selesai perang Badar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap di Madinah. Sebelum perang Badar berkecamuk, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menyusun perjanjian dengan Yahudi Madinah agar kaum Yahudi tidak menolong siapa saja yang melawan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (sebaliknya-pent) jika ada musuh yang hendak menyerang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota Madinah, maka kaum Yahudi harus membantu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah Rasulullah berhasil mengalahkan orang-orang kafir Quraisy dalam perang Badar, kaum Yahudi mulai menampakkan kedengkian mereka dan mulai melanggar perjanjian. ”
Adapun kisah yang tercatat dalam Sunan Abu Daud rahimahullah menceritakan, bahwa setelah terbunuhnya Ka’ab bin al Asyrâf (seorang Yahudi yang sering menyakiti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah), maka orang-orang Yahudi dan musyrik madinah mengeluhkan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengajak mereka untuk membuat sebuah perjanjian yang harus sama-sama dipatuhi. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis perjanjian antara kaum Yahudi dan kaum muslimin.
PIAGAM MADINAH DARI SEGI POLITIK
Kepemimpinan Rasulullah di Madinah tidak terbatas bagi kaum muslimin saja. Lebih dari itu, beliau pada hakikatnya memimpin satu kota Madinah keseluruhannya, termasuk orang-orang Badui dan Yahudi. Kepemimpinan beliau bahkan juga mencakup beberapa kabilah yang tinggal di sekitar Madinah. Hal ini tidak terlepas dari luasnya kekuasaan dua suku utama yang ada pada kaum Anshar yang telah tinggal ratusan tahun di Madinah, yaitu Aus dan Kazraj.
Oleh karena kedua suku tersebut tunduk pada Nabi, maka otomatis daerah-daerah kekuasaan mereka juga tunduk pada kepemimpinan Baginda Shallallahu 'Alayhi wa Sallam. Tunduk di sini maknanya adalah mematuhi keputusan-keputusan yang dibuat oleh Nabi dan tidak boleh memberontak kepada Nabi dan kaum Muslimin.
Akan tetapi ada hal yang unik yang berbeda pada diri Rasulullah, dibanding dengan pemimpin-pemimpin lainnya, terutama di masa-masa tersebut. Meskipun Rasulullah memiliki kuasa penuh terhadap kaum Yahudi, kaum Muslimin dan orang-orang Badui, beliau tidak bertindak semena-mena terhadap mereka. Bahkan dalam menentukan poin-poin dalam piagam Madinah, beliau tetap berbuat adil terhadap orang-orang yang dalam keyakinannya tidak sama dengan beliau dengan tetap mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan satu sama lain.
Meskipun pada akhirnya kesepakatan ini akhirnya usai, tapi usainya kesepakatan atau piagam Madinah ini bukanlah karena kesewenang-wenangan mayoritas orang yang ada di Madinah tersebut, akan tetapi karena pengkhianatan orang-orang Yahudi itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H