Mohon tunggu...
Zakia Netra
Zakia Netra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

pemimpi yang berusaha membuat nyata mimpinya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keping Puzzle Kehidupan

25 Maret 2014   03:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:31 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

kring... Kriing... kriing..

“Assalamuaaikum,dengan Astri di sini”.

“Wa’alaikumussalam, ini Bapak Nak. Gimana kabarmu?”. Sepertinya ada sesuatu yang ingin beliau sampaikan. “Alhamdulilah baik Pak. Kabar keluarga di rumah gimana Pak?”. “Bapak dan adik-adikmu sehat, tapi keadaan ibumu kurang baik. Sakitnya kambuh sejak tiga hari yang lalu”. Astaghfirullah, aku miris mendengarnya. Ingin sekali kupeluk ia dan mengurusnya. “Halo.. Nak?”. Aku tersadar bapak masih di seberang menunggu tanggapanku, “iya Pak, apa perlu Astri izin pulang?”. “Nak, melihat keadaan ibumu yang masih saja belum ada perkembangan Bapak minta kamu untuk segera mengurus kepindahan sekolahmu. Teruskan sekolahmu di Ponorogo saja sekalian menemani ibumu”.

Deg. Mengapa tiba-tiba bapak memintaku pindah sekolah? Apa keadaan ibu semakin parah?

“mengapa tiba-tiba Pak? Kan tanggung pak, Astri tinggal setahun lagi lulus.” Protesku, hatiku bimbang dan galau. “Bapak minta maaf nak, tapi ibumu ingin melewati hari-harinya denganmu. Ini ibumu ingin bicara”. Sunyi sejenak, “assalamu’alaikum Astri, gimana sekolahmu?”. Mataku tak dapat menahan titik yang jatuh perlahan ini. “wa’alaikumussalam Bu, Alhamdulilah lancar. Keadaan Ibu gimana?”. Makin deras tetesan dari mataku mendengar suara lemah ibu. “Ibu masih sehat dan bisa tersenyum, uhuk..uhuk, Nak.. ibu pengen kamu temani ibu di rumah,uhuk..uhuk..”.”iya bu, Astri usahakan secepatnya mengurus perpindahan sekolah, ibu istirahat ya.. jangan banyak gerak dan kecapekan. Jangan lupa juga obatnya diminum, Astri mau bicara sama bapak bisa Bu”, mendengar batuk ibu aku tak tega untuk jauh dari beliau.

“Pak.. Astri segera mengurus perpindahan sekolah”.

“maafkan Bapak ya Nak, Insya Allah sekolah di sini lebih barokah karena memenuhi keinginan ibu”, ada rasa sesal di suara bapak.

“iya Pak, Astri akan menemani ibu dan mengurus adik-adik”.

“Bapak tunggu kabarmu secepatnya, sudah dulu ya.. ibumu batuk terus. Semoga Allah Memberi kelancaran dalam urusanmu. Assalamualaikum”.

“waalaikumussalam warahmatullah wabarokatuh”

Aku masih tergugu di pojok kamar. Ingin segera pulang dan memeluk ibu.

Keesokan harinya aku mendatangi wali kelas untuk mengurus perpindahanku. Dalam waktu dua hari urusan pindah sekolah selesai. Dan segera aku kabarkan pada bapak. “Assalamualaikum, Pak. Alhamdulilah, urusan Astri sudah selesai. Jadi bisa segera pulang.”

“waalaikumussalam. Alhamdulilah, biar besok pamanmu menjemput. Bapak juga sudah mnyelesaikan urusan sekolahmu yang baru di sini.”

Setelah membereskan barang-barangku aku berpamitan dengan teman-teman kelas dan guru-guruku. Mereka kaget atas kepindahanku yang tiba-tiba. Tak lama kemudian pamanku tiba, aku memasukkan semua barang ke bagasi dibantu paman. Ada rasa sedih di hatiku, meninggalkan teman-teman, sekolah dan kota ini. Tapi, mengingat keadaan ibu tekadku untuk pulang menjadi kuat.

Empat jam dalam perjalanan membuat badanku pegal. Akhirnya aku sampai di depan rumahku. Terlihat adik-adikku menyambut di depan rumah. Mereka membantu mebawakan barang-barangku. “Mbak, dari kemarin ibu nanya terus kapan mbak pulangnya. Sudah ditunggu ibu di kamar”. Segera kudatangi ibu yang terbaring di kamar.

“assalamualaikum Bu, gimana keadaan Ibu?”

“waalaikumussalam, uhuk.. uhuk.. akhirnya kamu sampai rumah Nak, ibu kangen sama kamu.  Uhuk uhuk..”

“Astri juga kangen sama Ibu. Minum dulu Bu, biar batuknya reda. Ibu jangan mikir yang berat dulu ya, banyak istirahat. Biar Astri yang ngurus adik-adik dan rumah”

“Uhuk..Uhuk, iya Nak. Makasih kamu sudah penuhi permintaan Ibu”

“Astri senang bisa temani Ibu di sini. Ibu istirahat ya, Astri beres-beres dulu ya”

Aku keluar dari kamar ibu, tak ingin mengganggu istirahatnya. Sakit ibu disebabkan karena operasi pengangkatan kanker di rahimnya sejak tiga tahun lalu. Efek dari operasi tidak membuat kesehatan ibu membaik tapi sebaliknya. Segala jenis pengobatan telah ditempuh tapi belum memberikan hasil yang baik. Ibu semakin ringkih dari hari ke hari. Tapi semangatnya untuk sembuh membuatnya kuat menghadapi penyakitnya.

Bapak terlihat tenang ketika aku di rumah. Sedikit bebannya berkurang, mungkin selain untuk menemani ibu di rumah bapak juga mempertimbangkan biaya sekolahku yang mahal belum lagi biaya pengobatan ibu yang tidak sedikit. Aku paham akan hal itu walaupun bapak tidak mengutarakannya secara langsung padaku. Tubuh bapak juga semakin kurus dan tak terurus. Bapak sebenarnya juga memiliki penyakit jantung dan hipertensi yang diketahui sejak dua tahun yang lalu. Aku tak ingin memberatkan beliau dan membuatnya semakin terpuruk.

Sudah tiga bulan sejak kepindahanku di rumah. Melewati detik demi detik hariku untuk sekolah, mengurus ibu dan mengambil alih pekerjaannya. Keadaan ibu belum menunjukkan perubahan yang berarti. Semakin hari keadannya memburuk, hingga akhirnya harus dirawat di rumah sakit. Hingga di suatu malam ibu berbicara padaku, “Nak, sebagai anak pertama ibu titip ayah dan adik-adikmu. Maafkan Ibu yang tak bisa berbuat apa-apa dan merepotkan ini”
“Ibu jangan ngomong gitu, Astri sayang sama Ibu. Kami semua sayang sama Ibu, ingin Ibu segera sembuh”, tangisku tak bisa berhenti. Semua keluarga berkumpul di kamar ibu. Ayah hanya diam tak bisa berkata-kata. “Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah, Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah”, Terdengar kata-kata terakhir beliau sebelum menghembuskan nafas terakhir mengahadap Sang Khaliq. Innaa Lillaahi Wa Innaa Ilaihi Raaji’uun. Kami sudah merelakan ibu menghadap-Nya. Walaupun begitu tak kuasa aku, bapak dan adik-adikku menahan air mata yang terus mengalir. Keluarga segera mengurus pemakaman ibu. Aku memandikan jasad ibu. Teringat dulu aku selalu dimandikan oleh ibu, kini untuk terakhir kalinya aku ingin memandikannya. Wajahnya terlihat damai dan tersenyum.  Semoga ibu khusnul khotimah.

Hari demi hari kami lalui dan membiasakan diri tanpa kehadiran sosok ibu di rumah kami. Aku yang sekarang menggantikan tugasnya mengurus adik-adik, memasak, menyiapkan makanan dan pekerjaan rumah lainnya. Tahun terakhirku di sekolah juga semakin dipadati dengan persiapan ujian. Bapak terlihat semakin kurus dan sakit-sakitan. Beliau sering izin masuk kantor karena harus check up ke dokter. Adik-adikku mulai mandiri dan tak lagi merengek minta perhatian.

Allah menguji hamba-Nya yang sabar dan bertaqwa. Hari itu datang ujian Allah kepadaku. Aku menemukan bapak lemas dan terkulai di lantai, segera ku panggil paman dan membawa bapak ke rumah sakit. Dokter memberi diagnosa bahwa bapak mengalami komplikasi. Ginjal kirinya tak berfungsi dengan baik. Bapak tak ingin di rawat inap, bujukanku tak beliau hiraukan. Akhirnya aku mengalah dan mengurusnya di rumah. Bapak hanya bisa berbaring di ranjang. Sesekali ia jalan ke kamar mandi dan duduk di teras.

Sudah sebulan bapak sakit, keadaannya belum membaik. Beliau hanya bisa berbaring di tempat tidur. Walaupun bapak sakit beliau tetap shalat dengan berbaring serta tak henti melafadzkan dzikir. Beliau selalu berpesan kepadaku dan adik-adik untuk selalu ingat Allah dalam keadaan apapun. Keadaan bapak semakin buruk, kubawa bapak ke rumah sakit bersama paman. Beliau langsung di tempatkan di ruangan ICU infus, alat bantu pernafasan serta alat yang tak kumengerti terpasang di tubuh bapak yang lemah. Aku dan paman bergantian menjaga bapak. Hingga suatu pagi di Bulan Ramadhan bapak menghembuskan nafas terakhirnya tepat satu tahun saat ibu tiada. Sebelum meninggal bapak berwasiat kepadaku untuk menjaga diri dan adik-adikku.

Aku hampir putus asa saat bapak meninggal. belum selesai aku mengenang ibu, bapak pun ikut dipanggil Sang Khaliq. Tapi aku sadar bahwa Allah tak pernah membebani hambaNya melainkan sesuai dengan kesanggupannya (Q.S al-Baqarah:286). Sedikit demi sedikit aku bangkit dari keterpurukanku. Semua yang di dunia ini Milik Allah dan kepadaNya kembali. Ini merupakan pengalaman berharga yang diberi Allah padaku.

Di setiap sepertiga malamku selalu berdoa untuk orang tuaku dan kuminta pada Allah untuk memberi kekuatan menghadapi segala cobaanNya. Hidupku harus tetap berjalan, kini aku yang membimbing adik-adikku. Kejadian-kejadian dalam hidup ini adalah sebuah puzzle yang harus dijalani agar terbentuk secara sempurna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun