Alam iki sejatining guru. Larungan do'a dan sesaji (Larung Sesaji) Telaga Ngebel Ponorogo, menjadi tradisi unik dan khas masyarakat sekitar wisata Telaga Ngebel yang terjaga secara turun temurun.Â
Pelaksanaannya tahunan setiap 1 Suro atau 1 Muharram pada pagi sampai siang hari yang bertempat di jalanan pinggir Telaga Ngebel. Larung sesaji mempunyai tumpeng istimewa diantara tumpeng lainnya yaitu tumpeng agung berbentuk kerucut dari tatanan beras merah yang dihias sedemikian cantik.Â
Serangkaian acara larung sesaji tersusun atas prosesi: (1) pemandian dan penyembelihan kambing kendhit, tidak lupa darahnya di larung; (2) tasyakuran, istighosah, tahlil akbar, dan khotmu al-Qur'an kemudian tirakat; (3) pembakaran kemenyan serta penguburan kepala dan kaki kambing kendhit; (4) terakhir, arak-arakan dan pelarungan tumpeng yang merupakan acara puncak dari ritual larung sesaji.
Prosesi larungan diawali dengan arakan tumpeng agung, tumpeng hasil panen (buah-buahan, sayur mayur, tidak lupa buah durian khas Ngebel), dan, delapan tumpeng nasi dengan lauk ingkung ayam mengelilingi Telaga Ngebel.Â
Antusias warga tinggi karena tampil tarian budaya khas Ponorogo seperti Reog Ponorogo yang lengkap dengan atraksi yang menarik. Tumpeng agung di larung ke tengah perairan Telaga Ngebel dengan dipimpin oleh sesepuh tradisi kemudian dihanyutkan, sementara tumpeng lainnya dijadikan royokan warga yang turut memeriahkan dan menonton serangkaian upacara adat tersebut.
Tradisi LARUNG SESAJIÂ terkesan mengandung nilai-nilai luhur kehidupan baik dalam aspek religi, sosial, maupun budaya. Bupati Ponorogo, Bapak Sugiri Sancoko, menuturkan bahwa larungan ini menjadi wujud do'a dan rasa syukur yang dikemas secara teatrikal.Â
Sejatinya masyarakat sekitar memang sangat menghargai dan menghormati tradisi ini dalam rangka menjunjung tradisi dan melestarikan nilai-nilai luhur budaya daerah Ponorogo mengingat kisah "Baru Klinting" yang membekas sepanjang sejarah Telaga Ngebel.Â
Masyarakat mempercayai tradisi ini sudah menjadi kesepakatan bersama sebagai kegiatan ritual memohon keselamatan dan bersih desa di Telaga Ngebel demi menghormati para pendahulu.
Ibu bumi sampun maringi, ibu bumi kedah dipuntresnani.Â
Larung sesaji pun memiliki nilai etnobotani tercermin dari terciptanya nilai gotong royong, persaudaraan, peduli, cinta lingkungan, dan budaya yang berimplikasi besar bagi konservasi dan preservasi lingkungan.Â
Warga secara gotong royong mempersiapkan dan melaksanakan kegiatan dengan tetap memperhatikan keamanan, ketertiban, dan kontrol atas kondisi lingkungan.Â
Sikap kepedulian terhadap lingkungan dengan cara menjaga kebersihan ekosistem sekitar Telaga sehingga tidak pencemaran lingkungan. Adapun arakan tumpeng lainnya terbagi merata ke seluruh warga sebagai wujud syukur dan menghormati atas limpahan panen dan nikmat pemberian Tuhan Yang Maha Esa.
Makanan sesajen yang dilarung merupakan makanan yang tetap menjaga ekosistem, tidak mencemari, dan justru mendukung perkembangan ekosistem seperti sedekah makanan untuk fauna yang hidup di dalam telaga dan sekitarnya. Nilai budaya ditunjukkan selama kegiatan berlangsung seperti pertunjukan reyog, gamelan, ritual adat, maupun sholawatan.Â
Tak lupa, masyarakat selalu menjaga kearifan lokal Telaga Ngebel sehingga ekosistem Telaga tetap seimbang bahkan hingga saat ini wisata Telaga Ngebel sangat populer manca daerah bahkan mancanegara. Bumi Ngebel berharap Telaga Ngebel dan sekitarnya selalu asri serta masyarakat semakin mencintai dan giat melestarikan lingkungan.
Sumber:
Jatim Newsroom. (2023). Bupati Ponorogo Adakan Larung Sesaji di Telaga Ngebel. https://kominfo.jatimprov.go.id/berita/bupati-ponorogo-adakan-larung-sesaji-di-telaga-ngebel
Ristanto, H. (2022). Grebeg Suro, Larung Sesaji Tumpeng Agung di Telaga Ngebel. https://radarmadiun.jawapos.com/ponorogo/amp/801216780/grebeg-suro-larung-sesaji-tumpeng-agung-di-telaga-ngebel
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H