Mohon tunggu...
Nesy Septiani
Nesy Septiani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hallo semuanya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Warning! Pedofil Merajalela: Anak Jadi Korbannya

25 Juni 2022   09:56 Diperbarui: 25 Juni 2022   19:35 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Isu pelecehan hingga kekerasan seksual terhadap perempuan bukan menjadi masalah di Indonesia saja, tetapi juga menjadi masalah dunia. Dewasa ini banyak terjadi berbagai kasus pelecehan bahkan kekerasan terhadap perempuan khususnya pada anak yang mengundang reaksi sosial yang bermacam-macam. Rendahnya pengamatan terhadap norma-norma keagamaan yang terjadi di tengah masyarakat misalnya perilaku menyimpang, dan kurang mendapatkan responsi serta pengawasan dari unsur-unsur masyarakat menjadikan setiap individu menjadi liar dan tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Kejahatan kesusilaan dan pelecehan seksual sudah begitu kompleks, mencemaskan, serta meresahkan masyarakat. Data yang diperoleh dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) ada 797 anak yang menjadi korban kekerasan seksual sepanjang Januari 2022. Sangat disayangkan hal tersebut justru terjadi pada anak-anak.

Pada awal mulanya kejahatan kesusilaan tidak muncul secara tiba-tiba tetapi melalui proses pelecehan yang dianggap biasa, misalnya membelai bagian tertentu seperti pipi, tangan, dan sebagainya dengan maksud yang berkesan negatif kemudian bermuara kepada kejahatan. Kendala-kendala yang sulit untuk disingkirkan salah satunya adalah kendala sosial budaya. Khusunya struktur masyarakat yang patriartikal. Sehingga diskriminasi masih saja belum sepenuhnya tersingkirkan di kehidupan masyarakat meskipun sudah dibentuk berbagai badan dan pranatapun untuk pemberdayaan perempuan. Pada hasilnya tidak membuahkan hasil yang maksimal karena kendala utamanya berasal dari kendala sosial budaya. Tidak dapat dipungkiri, bahwa faktor utama pelaku melakukan hal tersebut adalah goyahnya iman. 

Seseorang hanya bisa mengerti bahwa hal tersebut merupakan perilaku keji apalagi dilakukan pada anak yang masih dibawah umur. Tapi dalam hal praktiknya, pemahaman tersebut tidak bisa menyadarkannya. Sehingga tidak pandang bulu siapa, darimana dan bagaimana kondisi korbannya. Pelaku tidak hanya mengincar korbannya yang berumur matang. Bahkan, tidak segan melakukan perbuatan keji tersebut tanpa ragu-ragu pada anak yang masih dibawah umur. Yang terpenting adalah kepuasan bagi dirinya sendiri. Mirisnya pelakunya pun bisa jadi bukan orang jauh namun orang yang berada dalam lingkungan kita sendiri. Cara pelaku mengelabuhi korbannya pun bermacam-macam. Mulai dari membelikan ice cream ataupun mainan agar korban tergiur dan ikut kemudian pelaku melancarkan perbuatan kejinya.

Januari 2022 lalu masyarakat Indonesia digemparkan oleh berita seorang paman yang memperkosa keponakannya sendiri berusia 9 tahun yang dilakukan di kamar tempat tinggal pelaku yang berlokasi di Setiabudi, Jakarta Selatan. Akibatnya korban mengalami rasa sakit pada kemaluannya. Sungguh miris! Seseorang yang seharusnya melindungi ternyata malah menyakiti.

Anak seringkali menjadi subjek sosial yang menjadi korban seorang laki-laki. Seperti dijadikan objek untuk kepuasan dan keserakahan seksual. Kondisi seperti itulah posisi anak sudah tidak aman. Kodrat perempuan atau anak seperti lemah lembut, perasa, sabar, dan lain-lain yang menyebabkan resiko tidak bisa membentengi dirinya dari predator yang akan melakukan aksi kejinya. 

Melihat kejadian tersebut, lalu apa dampak yang dialami korban ketika pelaku melakukan tindakan tersebut?

Jika dilihat dari sudut pandang biologis dan sosial terhadap anak dapat berdampak pada psikologis anak. Pada sudut pandang biologis anak sebelum masa pubertas organ vital anak tentu belum siap untuk melakukan hubungan intim. Akibatnya jika hal ini dipaksakan, maka tindakan tersebut akan merusak organ vital si anak. Ketika hal tersebut sampai terjadi, sebenarnya kejahatan terhadap anak sudah terjadi. Adapun dampak pelecehan dan kekerasan seksual yaang terjadi bisa ditandai dengan adanya powerlessness, dimana korban merasa tidak berdaya dan tersiksa ketika mengungkap kejadian tersebut. Selain itu, banyak anak yang mengalami kekerasan seksual merasakan kriteria pshychological disorder yang disebut traumatic stress disorder (PTSD), gejalanya berupa ketakutan yang intens terjadi, kemudian kecemasan yang tinggi, dan emosi yang kaku setelah peristiwa traumatis tersebut.

Sangat disayangkan, dalam kasus pelecehan bahkan kekerasan seksual pada anak yang terjadi di Indonesia banyak anak yang tidak mau bercerita kepada orang tuanya karena merasa malu dan takut orang tuanya tidak akan percaya atas apa yang dialaminya. Maka dari itu, peran orang tua dalam menjalin relasi yang baik pada anak harus diterapkan sejak dini. Supaya anak lebih terbuka dan bersahabat dengan orang tuanya sendiri. Termasuk mau menceritakan apa saja yang dialaminya tanpa adanya rasa takut dan merasa nyaman serta aman. Karena ketika anak merasa nyaman dengan orang tuanya, tanpa diminta untuk bercerita anak akan bercerita dengan sendirinya. Hal ini juga merupakan suksesnya orang tua mendidik anak dalam hal kejujuran dan keterbukaan.

Peran orang tua sangat penting dalam pengawasan anak. Mengingat bahwa orang tua merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam hal apapun terutama pendidikan seksual. Maraknya kasus pelecehan bahkan kekerasan seksual pada anak mengingatkan betapa pentingnya pengetahuan seks pada anak, maka kesadaran pendidikan seks perlu ditumbuhkan pada usia dini sebagai benteng pertahanan dini agar anak tidak menjadi korban dari kejahatan pedofil dan kaum LGBT. Pemberian pendidikan tersebut tidak sembarangan diberikan pada anak. Tetapi disesuaikan sesuai dengan tahapan perkembangannya. Karena anak usia dini belum bisa mengetahui dan memahami segala sesuatu secara mendalam.

Pendidikan seks pada anak usia dini bukan hanya membahas tentang anatomi antara laki-laki dan perempuan saja. Menurut Nahda Kurnia dan Ellen Tjandra dalam bukunya Bunda, Seks Itu Apa Sih? bahwa pendidikan seks pada anak tidak hanya membahas seputar interaksi antara laki-laki dan perempuan atau perkembangan alat reproduksi tetspi juga membahas bagaimana membekali anak dengan keterampilan untuk memilih tindakan yang diambil, serta meningkatkan kompetensi anak untuk menentukan sikap saat menghadapi situasi tertentu yang mengancamnya. Selain itu, pendidikan seks pada anak usia dini bertujuan agar anak bisa menutup anggota tubuhnya termasuk organ seksualnya serta mengajarkan bagaimana menjaga dan menghindarkan anak dari bahaya pelecehan sekaligus kekerasan seksual. 

Orang tua juga bisa menjelaskan bagian mana saja yang boleh disentuh dan tidak boleh disentuh  oleh orang lain. Mulai mengenalkan dan menjelaskan alasan tersebut dengan kata-kata yang mudah dipahami oleh anak. Karena diakui kecenderungan pelaku pelecehan bahkan kekerasan seksual tersebut kepada anak didasarkan karena pelaku pernah melihat kemudian memiliki rasa ketertarikan pada bagian intim anak seperti paha, dada, pantat, dan area kemaluan. Kemudian pelaku tidak bisa menahan hawa nafsunya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun