Mohon tunggu...
Nesya M. Pertiwi
Nesya M. Pertiwi Mohon Tunggu... Administrasi - An ordinary Employee

Menulis untuk berbicara

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Review Film "Moxie" (2019)

13 September 2021   16:04 Diperbarui: 13 September 2021   17:16 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Setelah lama tidak menulis, saya mulai mendapat pencerahan untuk mengolah kembali apa yang saya pikirkan dan ingin saya utarakan melalui tulisan (sejak saya masih harus banyak berlatih banyak untuk mengatakan melalui mulut apa yang ingin saya sampaikan dari pikiran saya). Jika ditengok lagi ke beberapa tahun silam, tulisan saya masih jauh dari kesempurnaan, namun sekarang gaya kepenulisan saya sudah menyesuaikan dengan kematangan usia. 

Saya pikir, jika pendapat terus-terusan terpendam, maka lama-kelamaan saya akan terjebak pada zona dimana saya tidak akan pernah mau tumbuh dan berkembang. Bukankah selama kita hidup, kita tidak bisa hanya berdiam di titik nol tanpa melakukan sesuatu meskipun hanya langkah kecil?

Baiklah, cukup curhatan colongannya. Sekarang mari melangkah lebih jauh ke tujuan dari tulisan ini. Saya ingin mereview dan sedikit resensi dari film yang belum lama saya tonton di Netflix berjudul Moxie yang telah tayang beberapa bulan lalu.

Film ini menceritakan seksisme dan diskriminasi gender yang terjadi di suatu SMA dimana permasalahan yang terjadi adalah ketidakadilan dan harassment yang terjadi di SMA tersebut. 

Melihat temannya sering diganggu dan beberapa anak sekolah sering dijadikan obyek seksual semata membuat Vivian jengah, tapi sebagai introvert yang pemalu sekaligus kurang yakin dengan dirinya sendiri membuat Vivian mendirikan klub Moxie sebagai wadah protes atas ketidakadilan yang diterima para murid perempuan di sekiolahnya.

Diam-diam, Vivian menyebarkan sebuah brosur yang mengajak murid-murid perempuan untuk menyuarakan permasalahan yang terjadi. Awalnya dia takut tidak akan didengarkan, mangkanya dia memilih anonim dan pura-pura tidak tahu siapa itu pencetus Moxie. 

Namun, melihat respon positif yang lama-kelamaan menyebar secara berkala dari kampanye diam-diamnya dengan meletakkan brosur di toilet perempuan, dia pun makin percaya diri untuk mengangkat isu-isu seksisme di sekolahnya, dimulai dari cara berpakaian yang banyak aturan untuk murid perempuan sementara dibebaskan untuk murid laki-laki, lalu teman sekelasnya yang dilecehkan tetapi tidak ditanggapi oleh pimpinan sekolah dan lainnya.

Sebelumnya, ada poling online buatan murid yang mengobjektivitasi seksual beberapa murid perempuan, seperti siapa yang layak ditiduri, siapa pemilik pantat terseksi, dan lain-lain. 

Sejujurnya, untuk ukuran anak remaja, saya rasa ini termasuk cerminan bahwa pihak sekolah termasuk yang melanggengkan rape culture seperti ini jika memang di dunia nyata ada yang seperti ini. 

Terlepas dari itu, Vivian dengan gejolak hormonal remaja pemberontak yang makin mencuat dalam dirinya malah bertindak gegabah dan mengikuti emosinya sampai-sampai hal itu membuatnya ribut dengan ibunya yang single parent dan juga pacarnya yang pendukung feminis.

Sampai suatu hari, atas dorongan kemarahan dan kesadarannya setelah membuat Claudia sahabat karibnya sejak kecil di skors dari sekolah karena mengaku sebagai Moxie, akhirnya Vivian melakukan vandalisme di depan gedung sekolah sekaligus menghancurkan piala penghargaan kepala sekolah yang telah dicurinya.

Vivian sadar kalau dia harus segera keluar dari cangkangnya jika ingin mendapat keadilan yang selama ini dicarinya. Atas dasar simpati pada seorang anonim yang menuliskan surat berisi pengalaman bahwa anonim itu mengalami pelecehan dan kekerasan seksual oleh mantan pacarnya, Vivian kemudian berani berbicara di seluruh hadapan sekolah yang melakukan walk out kdan mengakui di depan public bawha dialah pendiri Moxie---dengan kata lain, dialah si Moxie itu sendiri.

Akhirnya, tindakannya yang penuh resiko itu didengarkan juga dan disambut positif oleh seluruh murid-murid yang ikut walk out. Hal itu membuat si murid anonim yang menuliskan catatan pengalaman pelecehannya itu mau mengakui dan membeberkan identitasnya kepada seluruh sekolah lalu menceritakan hal buruk yang dialaminya. Ini sedikit ironis karena hampir rata-rata melibatkan tokoh-tokoh yang dianggap populer di sekolah. 

Si anonim itu adalah gadis populer yang mendapatkan voting sebagai paling layak ditiduri sementara pelaku pelecehan seksualnya adalah si kapten futbol sekolah yang sering sekali menjadi objek sasaran protes Vivian. Sampai akhirnya kepala sekolah itu luluh dan sadar kalau dia harus menggunakan hak dan kewajibannya melindungi murid-murid sekolahnya lalu memanggil si kapten futbol tersebut.

Sejauh ini, saya rasa pesan feminisme yang disampaikan film ini terbilang kuat dan bagus, tapi saya tidak melihat potensinya untuk menjadi besar dan memorable. Penceritaannya lebih menekankan pada ledakan amarah dari seorang anak sekolahan yang ingin memberontak (itulah kenapa soundtrack utama film ini adalah lagu dari band lawas 90an Bikini Kill berjudul Rebel Girl). 

Saya bukan pakar feminisme namun saya sangat mendukung kesetaraan dan keadilan gender demi hidup yang lebih baik untuk semua orang, termasuk semua gender. 

Film ini tidak memiliki makna bahwa tujuan utamanya adalah memberikan wadah dan tempat untuk berbicara atas permasalahan gender yang terjadi. Making a noise without voicing out its purpose just won't get a better result.

Ya, walaupun diceritakan pengikut Moxie mulai bertambah dari murid-murid di sekolah si tokoh utama, tetapi rasionalitas untuk berpikir jernih tanpa menyerang secara babi buta karena tercampur emosi yang meledak-ledak hanya akan membuat orang-orang berpikir feminisme dilakukan oleh pembenci kaum pria (ini gambaran yang paling umum di kehidupan nyata). Sayangnya, film ini belum menyampaikan secara signifikan hal tersebut. Ini lebih seperti pemberontakan berbasis gender di kalangan remaja.

Hal baiknnya, film ini bisa mengedukasi bahwa hal-hal yang terjadi di sekolah itu terjadi di manapun terutama di dunia nyata. Tidak ada salahnya menyuarakan ketidakpuasan atas ketidakadilan. Anak-anak sekolah perlu mengedukasi dirinya untuk menghargai semua gender dan tahu tindakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. 

Unsur seksualitas harus berdasarkan konsen bersama dan jika sebuah tujuan dibuat untuk kenyamanan bersama, alangkah baiknya tidak melakukan diskriminasi secara terang-terangan dengan memanfaatkan otoritas sebagai pemangku kepentingan. 

Film ini juga menonjolkan sisi dimana selalu murid laki-laki yang menjadi ikon dan mendapatkan perlakukan lebih istimewa di beberapa bidang. (silahkan lihat sendiri filmnya supaya paham maksud saya disini).

Saya akui, melawan sistem patriarki yang tergambar di film ini tidaklah mudah dan akhirnya membuat seorang remaja di masa labilnya menjadi berbuat sesuai emosinya dan pasti akan menimbulkan kontra. Mungkin sesuai dengan tema lagu dan juga ide utamanya, rebel girl. Setidaknya melakukan sesuatu lebih baik daripada diam saja melihat orang-orang selalu tertindas, bukan?

Sekali lagi, film ini layak di tonton namun harus tetap mengedepankan rasionalitas untuk kedepannya bagi para penonton mengenai tujuan utama feminisme. Rebel without a cause is not always get you the great results, but when you made a huge change, something good will comes around when you stop yelling and start to listening what people need to know. Don't hide in your shell and keep your chin up!

Personal rate: 7.0 out of 10

May god bless you ever more!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun