Ketika Syafruddin Prawiranegara menjadi Menteri Keuangan pada kabinet Hatta II, ia menerapkan kebijakan moneter yang dikenal dengan Gunting Syafruddin. Kebijakan ini mulai berlaku tanggal 10 Maret 1950.
Setelah peristiwa serangan bersenjata pada tahun 1947 dan 1949 menjadikan pertumbuhan ekonomi Indonesia berjalan lambat, sehingga menjadikan Syafrudin menciptakan kebijakan Gunting Syafruddin untuk mengatasi situasi perekonomian Indonesia yang sedang terpuruk karena utang yang semakin banyak, tingginya laju inflasi, serta harga yang melambung pesat sekitar tahun 1950.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RIS Nomor PU I, Syafruddin Prawiranegara menerapkan langkah pengurangan belanja untuk menutup defisit anggaran sebesar Rp 5,1 miliar. Kebijakan ini tentu mengejutkan banyak pihak karena merupakan kebijakan moneter pertama di Indonesia. Syafruddin memiliki beberapa gagasan dalam pelaksanaannya seperti penggantian mata uang yang beragam dengan mata uang yang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan laju inflasi. Dengan ini maka dapat menurunkan harga barang dan mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib yang besarnya diperkirakan mencapai Rp 1,5 miliar.
Kebijakan Gunting Syafruddin diberlakukan dengan cara menggunting uang kertas menjadi dua bagian. Strategi ekonomi ini membagi uang kertas menjadi dua sekaligus mengurangi separuh nilai koin NICA dan mata uang De Javasche Bank menjadi pecahan lima gulden, kemudian sisa potongannya masih dapat digunakan sebagai pembayaran barang dan jasa. Misalnya, kita menggunakan uang potongan sisi kiri untuk membeli sayur-sayuran. Uang kertas di sebelah kanan ditukar dengan uang kertas Treasury senilai setengah harga aslinya. Pada saat menukarkan uang, untuk setiap nilai 5 gulden, maka anda akan menerima 2,5 gulden.
Setelah itu, negara akan membayar kembali dengan tingkat bunga 3% per-tahun. Sisi kanan dinyatakan tidak berlaku, namun masih dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar tiga puluh tahun kemudian dengan bunga 3% setahun. Gunting Syafruddin juga berlaku bagi simpanan di bank.
Pecahan dengan jumlah Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia). Sedangkan itu pada sisi kiri harus ditukar dengan uang kertas baru di bank dan di tempat lain antara tanggal 22 Maret dan 16 April 1950. Sisi kiri uang kertas tidak dapat digunakan setelah tanggal tersebut kecuali terdapat perubahan yang disetujui. Selain itu, kebijakan Gunting Syafrudin tidak berdampak pada masyarakat umum karena pada saat itu hanya masyarakat menengah ke atas yang memiliki uang sejumlah 5 gulden atau lebih. Untuk mencegah inflasi di kemudian hari, kebijakan Gunting Syafruddin berupaya menjaga keseimbangan antara jumlah uang dan barang yang beredar.
SERTIFIKAT DEVISA
Satu minggu sebelum Syafruddin menetapakan kebijakan Gunting Syafruddin, ia juga mengeluarkan kebijakan Sertifikat Devisa (SD) dengan tujuan meningkatkan kegiatan ekspor dan mengurangi kegiatan impor. Berdasarkan kebijakan tersebut, setiap eksportir mendapatkan SD sebanyak 50% dari harga ekspornya. Hal tersebut berlaku sebaliknya. Melalui kebijakan ini maka seseorang yang akan mengimpor barang diwajibkan untuk membeli SD senilai dengan harga barang yang akan di impor.
Sebagai permulaan, pemerintah menetapkan kurs sebanyak 200 persen. Artinya, apabila seseorang akan membeli SD sebesar Rp 10.000, maka dia harus membayar sejumlah Rp 20.000. Kurs tersebut akan mengalami naik-turun sesuai perkembangan pasar. Sehingga, tanpa mengubah kurs resmi, kurs efektif bagi penghasil devisa adalah 200% kurs resmi, sedangkan bagi para pemakai devisa adalah 300% dari kurs resmi. Selisih ini masuk ke dalam kas pemerintah.
Kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh menuai pro dan kontra karena memberatkan para importir. Namun, ia tidak mau mengabaikan kepentingan para petani yang menghasilkan sebagian besar barang ekspor. Hasil dari kebijakan tersebut ternyata positif. Kedudukan rupiah menguat, harga barang terutama kebutuhan pokok tidak naik, dan pemasukan pemerintah menjadi naik dari yang semula Rp 1,871 miliar menjadi Rp 6,990 miliar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H