Di zaman sekarang ini siapa yang tidak pernah membeli sesuatu atau bertransaksi melalui e-commerce? Pasti sebagian besar orang pernah melakukan transaksi di e-commerce. Secara umum, e-commerce atau electronic commerce adalah transaksional jual beli yang dilakukan secara daring melalui media internet, sehinga transaksi jual beli yang biasanya harus dilakukan dengan bertatap muka antara penjual dan pembeli kini tidak harus dilakukan secara langsung karena dapat dilakukan dengan jarak jauh. Perkembangan zaman yang semakin canggih menuju era digital ini memunculkan ide-ide atau gagasan baru mengenai kemudahan dalam beraktivitas, salah satu contohnya adalah kemunculan online shopping atau e-commerce ini.
Adanya e-commerce ini tentunya dapat mempermudah masyarakat untuk melakukan transaksi jual beli. Masyarakat tidak perlu effort untuk keluar rumah demi membeli suatu barang karena dengan sekali 'klik' maka barang yang diinginkan akan sampai ke rumah kita dalam hitungan jam atau bahkan hitungan menit. Tak heran, e-commerce atau online shopping sangat digemari masyarakat. Dengan pesatnya kemajuan teknologi, e-commerce semakin merebak di semua kalangan dengan segala kemudahan yang ditawarkan.
Sebuah kontroversi timbul ketika perusahaan e-commerce mulai marak bermunculan di Indonesia yang menyebabkan keberadaan toko konvensional mulai tergeser. Banyaknya kemudahan yang ditawarkan oleh perusahaan e-commerce menurunkan minat masyarakat untuk bertransaksi di toko konvensional. Hal ini salah satunya juga disebabkan oleh harga yang ditawarkan oleh penjual online relatif lebih murah daripada penjual toko offline atau toko konvensional yang kemungkinan disebabkan adanya biaya tambahan berupa biaya sewa gedung/toko dan biaya lain-lain yang menyebabkan harga di toko offline lebih tinggi. Maka dari itu, untuk menjaga keseimbangan antara penjual online dan penjual toko konvensional, pemerintah mengenakan pajak terhadap pelaku e-commerce karena tingkat pendapatan perusahaan e-commerce yang rata-rata di atas toko konvensional akibat pergeseran minat konsumen.
Bagaimana Ketentuan Pajak terhadap E-Commerce?
Pada dasarnya pengenaan pajak pada penjual online regulasinya tidak jauh berbeda dengan penjual konvensional karena objek yang dikenai pajak juga sama, yakni barang yang diperdagangkan. Kebijakan mengenai pemungutan pajak e-commerce pada awalnya sudah disusun dalam PMK (Peraturan Menteri Keuangan) 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-commerce), namun PMK yang seharusnya diberlakukan pada 1 April 2019 ini dicabut dengan PMK Nomor 31/PMK.010/2019. Setelah itu pemerintah membuat kembali ketentuan pajak e-commerce yang diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE/62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas transaksi E-Commerce. Berdasarkan SE/62/PJ/2013 ini, pemerintah Indonesia mengakui 4 model transaksi e-commerce yaitu Online Marketplace, Classified Ads, Daily Deals, dan Online Retail. Pengklasifikasian tersebut digunakan untuk mempermudah mengidentifikasi pertambahan nilai suatu barang sehingga lebih mudah dalam pengenaan pajaknya.
Dalam SE/62/PJ/2013 tersebut sebenarnya juga tidak terdapat kemunculan pajak baru yang dikhususkan untuk e-commerce, hanya menerapkan aturan yang sudah ada sebelumnya. Dengan kata lain, antara aktivitas perdagangan di e-commerce dengan aktivitas perdagangan biasa atau konvensional pengenaan pajaknya adalah sama, baik berupa subjek atau objek pajaknya dalam pengenaan PPh (Pajak Penghasilan) maupun PPN (Pajak Pertambahan Nilai).
Subjek dan Objek Pajak
Yang menjadi subjek pajak dalam pengenaan PPh e-commerce ini adalah wajib pajak orang pribadi atau badan yang memperoleh penghasilan dari penjualan barang atau penyediaan jasa melalui sistem elektronik. Sedangkan objek pajaknya adalah penghasilan dari penjualan barang atau penyediaan jasanya. Jika penghasilan dari aktivitas perdagangan online ini menurut perhitungan merupakan objek pemungutan PPh, maka wajib dilakukan pemotongan PPh. Untuk tarif yang dikenakan adalah PPh pasal 17 diterapkan kepada PKP (Pengusaha Kena Pajak) yang harus mengajukan diri sebagai PKP ketika omzetnya telah lebih dari Rp4,8 milyar. Jika pelaku e-commerce omzetnya tidak lebih dari Rp4,8 milyar, maka akan ditetapkan tarif PPh final sebesar 0,5%, sedangkan jika omzetnya tidak melebihi Rp500.000.000 maka akan terbebas dari pungutan pajak penghasilan. Tarif yang dikenakan pada PPh ini adalah tarif yang penghasilannya tidak ditetapkan PPh final, yakni penghasilan yang sudah dikurangi dengan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak). Dasar hukum dari pemungutan pajak ini adalah Pasal 4 ayat (1) dan (2), Pasal 15, Pasal 17, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 26 UU PPh.
Untuk pengenaan PPN, subjek pajaknya sama dengan subjek pajak pengenaan PPh, sedangkan untuk objek pajaknya adalah pertambahan nilai atas penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) atau JKP (Jasa Kena Pajak) di dalam daerah pabean atau pemanfaatan hal tersebut dari luar pabean yang dilakukan di dalam daerah pabean, ekspor BKP berwujud, BKP tidak berwujud, dan ekspor JKP. Dasar hukum dari pengenaan pajak ini adalah Pasal 1, Pasal 4 ayat (1), Pasal 11 ayat (1) dan (2), dan Pasal 13 UU PPN, yang diubah dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Pasca turunnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, pemerintah menjelaskan rincian tentang PPN atas BKP tidak berwujud atau JKP menggunakan sistem elektronik (e-commerce). Aturan ini dijelaskan dalam PMK 60/PMK.03/2022 yang merupakan peraturan terbaru setelah turunnya PMK 31/PMK.010/2019 yang mencabut PMK 210/PMK.010/2018. Pebisnis di e-commerce yang telah dikukuhkan menjadi PKP akan dikenai PPN dengan tarif 11% atas transaksi BKP/JKP.
Setelah mengetahui ketentuan perpajakan, baik PPh maupun PPN yang diterapkan kepada pelaku usaha e-commerce, diharapkan pelaku usaha e-commerce ini mampu memahami aturan-aturan dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam ketentuan perpajakan agar tidak lalai dalam melaksanakan kewajiban pajaknya. Dimulai dari yang paling utama, pelaku usaha yang dikategorikan sebagai wajib pajak orang pribadi atau badan yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif hendaknya mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Selain itu, terkait dengan penghasilan yang diperoleh harus diperhitungkan dengan baik untuk mengetahui kapan harus dikukuhkan menjadi PKP sehingga kewajiban pajaknya terpenuhi dengan baik dan terhindar dari sanksi berupa sanksi administrasi ataupun sanksi pidana.
Oleh : Nesta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H