Perseteruan dualisme di tubuh Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) telah menjadi perbincangan hangat di kalangan kader-kader Marhaen bahkan Cipayung-Plus di Seluruh Indonesia.Â
Organisasi yang akan merayakan hari kelahirannya pada 23 Maret mendatang ini tenga dilanda perpecahan yang berlandaskan 'egoistic akut. Pilihan dualisme adalah jalan yang ditempuh oleh 'pembesar-pembesar GmnI tanpa mempertimbangkan kondisi nyata di tingkatan Daerah, Kabupaten dan Kampus. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia atau GMNI telah mengalami perubahan yang signifikan atas cita Marhaenisme yang sesungguhnya.
Hampir dua tahun lamanya sejak Kongres Maritim di Kota Ambon itu telah melahirkan dua Dewan Pimpinan Pusat yang 'Premature akan persatuan. Bagaimana tidak, rumah perjuangan yang seharusnya dipakai untuk mengimplementasikan Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi itu kini digunakan untuk saling "perang" kepentingan guna mengamankan posisi masing-masing. Â
Setiap gerbong baik Bung Immanuel dan Bung Arjuna, sama-sama jual beli Klaim atas keabsahan DPP masing-masing. Gerbong Arjuna dengan SK Kemenkumham-nya berteriak lantang "kamilah yang sah! ", gerbong Imanuel berdiri tegak menapaki Wisma Trisakti pun berteriak "kamilah yang sah!" sementara, ratusan cabang dan puluhan DPD defenitif maupun carateker harus menanggung imbas atas konflik ini.Â
Dampak yang paling dilema dirasakan tingkatan Cabang adalah dihadapkannya pilihan untuk mengikuti salah satu Dewan Pimpinan Pusat (DPP - read). Jelas pilihan setiap cabang berbeda. Hal ini menimbulkan adanya kerenggangan hubungan keakraban setiap kader sampai pada aktivitas di dalam kampus.Â
Padahal, kalau kita selami asas perjuangan dan pemikiran kaum marhaenis, sangat tidak dibenarkan adanya perpecahan. karena semua metodologi GmnI adalah Marhaenisme. Dimana, persatuan adalah awal kader GmnI melahap proses pembelajaran melalui Pekan Penerimaan Anggota Baru (PPAB).Â
Pertanyaan yang paling dalam adalah apakah kaum nasionalis mencintai perpecahan? Ini adalah kalimat yang sangat kontradiktif antara satu kata dengan kata lainnya. Dikenal, GmnI adalah pondok yang di huni berbagai warna dalam satu tarikan nafas Kebangsaan, dikenal GmnI adalah wadah yang gandrung akan musyawarah dengan hikmat dan bijak, dimana semua kaum Pejuang-Pemikir Pemikir-Pejuang?Dimanakah semua jargon, semboyan dan moto itu?Â
Seruan-seruan persatuan di atas sepertinya tidak menyadarkan mereka yang mengemban gelar petinggi baik kedua DPP maupun para Alumni. Yang kita lihat, kedua DPP sibuk perang eksistensi dalam gelar buka tutup acara, gunting pita dan silaturahim di daerah dan cabang, sementara Alumni seakan tutup mata dan telinga dikala Dualisme terus bergulir.
Sebenarnya, gelaran Kongres PA GMNI di Bandung beberapa bulan lalu seharusnya menaruh Rekonsiliasi dalam agenda sidang untuk selanjutnya konflik turunan seperti masa lampau itu tidak terjadi seperti hari ini. Tetapi para Alumni nampaknya lebih mementingkan siapa yang menang dan siapa yang senang.
Dualisme Menurut FilsafatÂ
Menurut konsep filsafat, dualisme memiliki dua substansi. Dimana dalam pandangannya tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme mengklaim bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik atau objek yang ada di luar realitas fisik. Kalau kita menelaah kata dualisme, maka penggabambarannya akan mencapai Entitas Non Fisik, dimana awal beranjaknya paham itu adalah raga yang menolak kecerdasan jiwa.Â