Tradisi kawin tangkap suku sumba di nusa tenggara timur
Praktik kawin tangkap masih dipertahankan oleh masyarakat suku Sumba di Nusa Tenggara Timur sebagai bagian dari tradisi perkawinan. Dalam tradisi Sumba, kawin tangkap tidak dilakukan sembarangan dan biasanya dijalankan oleh keluarga dengan kemampuan ekonomi yang lebih tinggi, karena ada kewajiban membayar mahar yang besar kepada pihak perempuan. Proses ini melibatkan persiapan dari pihak perempuan yang mengenakan pakaian adat, sementara pihak laki-laki yang melakukan penangkapan juga mengenakan pakaian adat dan menunggang kuda Sumba. Setelah penangkapan, keluarga laki-laki membawa kuda dan parang sebagai tanda permintaan maaf, memberitahu bahwa perempuan tersebut telah berada di rumah keluarga laki-laki. Jika dijalankan sesuai tradisi, kawin tangkap dipandang sebagai penyelesaian tanpa konflik dan penuh penghormatan terhadap perempuan. Namun, saat ini praktik tersebut mengalami penyimpangan, seringkali dikaitkan dengan pemaksaan perkawinan dan kekerasan terhadap perempuan, yang berdampak pada trauma fisik dan psikologis. Beberapa pengamat, seperti Frans Wora Hebi, menyatakan bahwa kawin tangkap bukanlah bagian dari budaya asli Sumba, melainkan berkembang sebagai cara menghindari hukum. Tokoh adat dan pihak berwenang kurang tegas dalam menangani praktik ini, sehingga sanksi yang diberikan hanya berupa hukuman sosial, tanpa ada tindakan hukum yang jelas. Salah satu kasus kawin tangkap yang mencuat pada tahun 2020 melibatkan seorang perempuan bernama Citra, yang diculik dan mengalami kekerasan, namun akhirnya dibebaskan setelah negosiasi antara keluarganya, pemerintah desa, dan LSM. Tradisi kawin tangkap di Sumba sering menjadi sorotan karena dianggap sebagai tindakan penculikan perempuan, pelanggaran hak-hak perempuan, serta pelanggaran hak asasi manusia. Dalam praktik ini, perempuan 'diculik' dan 'dipaksa' menikah dengan alasan yang dibenarkan oleh budaya setempat. Biasanya, tradisi ini dilakukan oleh masyarakat pedalaman Sumba, khususnya di daerah Kodi dan Wawewa. Di masa lalu, kawin tangkap sering dilakukan oleh keluarga pria yang menghadapi kesulitan dalam memenuhi mahar atau belis yang diminta oleh pihak perempuan.
Tradisi kawin tangkap sering dikritik karena dianggap melanggar hak asasi manusia dan merugikan perempuan, menyebabkan penderitaan bagi mereka di Sumba. Saat ini, pemerintah sedang berupaya mengakhiri praktik ini dan melindungi hak-hak perempuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H