Mohon tunggu...
Neny Silvana
Neny Silvana Mohon Tunggu...

Unik, ekspresif, menarik.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pengalaman Berhaji di Makkah

13 Oktober 2013   10:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:36 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Seumur pernikahan, terbanyak suami menggenggam, memeluk, menyentuh, dan menjaga dengan cemas adalah di Makkah. Suami menjadi lebih perhatian, mesra, dan romatis. Makkah menghipnotis kami membuat dunia serasa milik berdua di tengah keramaian."

@Makkah 12 Oktober 2013. Ma'abda 320/206. Terimakasih ya Allah,  diberi kesempatan datang kesini. Melihat kota Makkah dengan berbagai rasa. Melihat semua orang berkumpul dengan berbagai rupa dan warna kulit. Melihat wajah-wajah khusuk dengan banyak harapan dan penuh syukur.  Natural, hanya aura hati dan keimanan yang terpancar. Hanya satu tujuan, beribadah.

Terkejut adalah kesan pertama ketika melihat kota Makkah. Kesibukan yang padat dan tak sempat bertanya ke ustad Google, dalam bayanganku kota Makkah masih banyak gurun pasirnya, masih banyak untanya, panas serta gersang. Ternyata hehe, kota Makkah  nggak jauh beda dengan kota Jakarta.  Apartemen, pertokoan, perkantoran, dan rumah-rumah berdiri dengan tinggi dan kokoh di atas bukit.

Dengan setengah mangap aku berkata, "wow, bagusnya"  dan merasa malu, teringat percakapan dengan seorang sahabat ketika aku curhat sambil menangis meributkan belum membeli sendal jepit dan keperluan lainnya ketika akan berangkat sementara waktu sudah mendesak. Sahabatku bilang,"Jangan panik Nen, di sana segala ada,"

Di Makkah, wanitanya berfashion jubah hitam, mukena putih, dan bergamis besar terlihat unik dan menarik. Prianya berbaju koko dan berbaju panjang dengan wajah teduh, berbulu, dan ganteng membuat cuci mata. Memperhatikan bagaimana mereka mengekspersikan diri dalam berkomunikasi kepada Allah dengan cara yang kadang berbeda, mengalihkan kita dari yang lain.

Kota yang tidak pernah mati. Pagi, siang, atau malam terasa sama. Semarak dan berdesak-desak menuju masjid. Pertokoan juga beraktivitas sama, melayani jemaah yang ingin berbelanja oleh-oleh atau berkuliner. Sayangnya, di sini banyak toko makanan yang tidak bisa dimasuki oleh wanita. Apalagi makan di tempat. Pemandangan yang baru,  hanya pria yang berjualan, dan hanya pria yang berbelanja. Transaksi yang tidak ribet. Tidak banyak tawar menawar dan memilih barang seperti wanita.

Di sini nggak ada bis, cuma ada taxi membuat kami banyak berjalan, dan banyak mengeluarkan keringat namun tidak terasa lelah. Suhu di sini 45-54 derajat membuat tubuh menguap, harus banyak minum air. Tak perlu bersusah payah berolah raga, diam di luar saja keringat akan mengucur deras membasahi baju.

Menyusuri jalan setiap hari dari rumah menuju masjid mengukir jalan kenangan. Berhias pohon kurma sepanjang trotoar dan burung merpati berterbangan bebas. Kami saling berpegangan tangan, memeluk, dan bercanda. Mengobrolkan dan membahas apa yang kami lihat dan rasakan. Suami menjadi lebih melindungi, mesra, dan perhatian. Seumur pernikahan, terbanyak suami menggenggam, memeluk, menyentuh, menjaga dengan cemas adalah  di Makkah. Makkah menghipnotis kami membuat dunia serasa milik berdua di tengah keramaian.

Beraktivitas yang sama dari jam ke jam dengan tujuan yang sama, sholat 5 waktu di masjid. Berangkat jam 4 subuh dan pulang jam 10 malam. Sangat jarang dilakukan di Indonesia. Menjadikan imam dan menggantungkan diri hanya pada suami, selain Allah pastinya. Menempatkan istri istimewa, menjadi harta baginya yang harus dijaga.

Niat dari Indonesia, hanya ingin beli oleh-oleh emas untuk kenang-kenangan jika punya rejeki lebih. Ternyata, emas di Makkah itu mahal. Ukuran gelang paling kecil sekitar 30 juta. Kalau mau beli 1 set harganya ratusan juta. Ternyata bener, mahar untuk wanita arab itu mahal. Mahar emas terkecil atau termurah senilai 150 juta. Itu belum termasuk syarat biaya resepsi penikahan, rumah yang harus dimiliki berserta isinya, juga pekerjaan. Beda dengan wanita Indonesia yang bisa bermahar "asal saling cinta" dengan emas kawin 10 gram atau seperangkat alat sholat, nikah langsung dilaksanakan.

Kemarin, tanpa diduga suami membelikan 2 sejadah cantik. Harga sejadahnya @85 riyal, tidak terlalu mahal. Dikemas dalam kotak yang menarik. Warnanya ungu dan maroon, dengan motip masjid dan kabah. Suka banget. Lebih suka dari diberi emas.

Suami bilang "Aku ingin, kamu mengingatku sama besar dengan kamu mengingat Allah. Lantunkan doa yang baik untukku, untuk kita dalam setiap sholatmu". Langsung meleleh serasa menjadi istri sholehah haha. Semoga ini bukan rayuan gombal karena  nggak mau beliin emas hihi. *dipositifkan.

Ada pengalaman aneh apa selama di Makkah?

Pernah ada yang menyapa dengan suara laki-laki "assalamualaikum" sangat jelas. Lalu aku jawab, "waalaikum salam" tapi ketika dilihat orangnya nggak ada. Pernah ketika selesai tawaf, ada yang menggandeng tanganku, kerasa banget. Ketika ingin tau siapa yang menggandeng, taunya orangnya nggak ada. Dan pengalaman yang paling menarik ketika umroh (tawaf) mengelilingi kabah, ada 2 ibu-ibu berumur, menggapai pundakku. Kedua ibu-ibu itu  minta tangannya diraih. Lalu aku menarik tangan wanita berjubah hitam itu ke pundakku. Dan tangan wanita berbaju putih satunya lagi ke pinggangku. Meminta mereka memegang dengan kencang, hanya dengan bahasa isyarat. Saat itu penuh luar biasa, baju basah dengan keringat, berdesak-desakan.

Entah berapa putaran, kedua wanita itu mengikutiku dengan penuh air mata dan tak henti membaca doa. Dua wanita dari negara yang berbeda. Karena aku ingin menyentuh kabah, aku memisahkan diri. Kedua wanita tersebut tanpa bicara, mengusap kepalaku berkali-kali dan mencium wajahku. Hanya tatapan terima kasih dengan air mata. Aneh, selain di kabah, aku juga "puluhan kali" dicium dan dipeluk wanita tidak dikenal di beberapa tempat. Insyaallah pertanda baik.

Pernah bertemu lelaki usia sekitar 55 tahun,  wajahnya seperti ayahku. Bolak balik menatap, hanya menatap selama berjam-jam. Tanpa menyapa. Berhidung macung, berkulit putih merah, berjenggot. Berasal dari cina, bener-bener mirip ayahku. Ayahku sudah meninggal 10 tahun yang lalu. Miss u dad, semoga surga menjadi tempatmu. Oya, sepertinya banyak ibu-ibu yang memeluk dan menciumku,  karena aku nggak punya ibu dari usia 5 tahun dan pengen banget tau rasanya punya ibu.

*bersambung, sudah ngantuk. Lanjut besok ya hehe. (ditulis sebagai buku harian dokumentasi perjalanan ibadah haji berdua suami)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun