PT Adaro menjual batu bara di bawah harga pasar kepada perusahaan afiliansi di Singapura, Coal Trade Services International,Pte.Ltd sebesar $25 pada tahun 2005 dan $29 pada tahun 2006 adahal di akhir tahun 2007 harga batu bara menembus harga $95 per ton. Pemerintah Indonesia khususnya Otoritas pajak mengalami kerugian karena adanya pergeseran beban pajak yang dilakukan manajemen pajak perusahaan yang ada di Indonesia ke manajemen pajak perusahaan yang ada di Singapura sebesar US$24 juta setiap tahun, dikutib oleh CNBC Indoenesia (2019). Fenomena ini memiliki indikasi adanya pengembangan bisnis, perluasan wilayah international dengan mendirikan perusahaan di Singapura yang seolah-olah itu perusahaan afiliansi. Dimana secara hukum perpajakan Undang-Undang No 36 Tahun 2008 pasal 18 ayat 3 bahwa Direktorat Jenderal Pajak menentukan kembali penghasilan di dalam hubungan istimewa, di dalam pasal ini mengatur persyaratan sebagai berikut:
1. Kepemilikan modal langsung atau tidak langsung paling sedikit 25% di pihak lain, Wajib Pajak melibatkan partisipasi dua atau lebih dapat mempengaruhi harga ketika tarif rendah dari harga pasar.
2. Wajib Pajak orang pribadi memiliki hubungan keluarga ( sedaranh baik garis keturunan lurus ke sampaing maupun satu derajat ).
3. Penguasaan yaitu manajemen memiliki ketergantungan dengana tehnologi
Dari pengertian pasal tersebut, adanya pemenuhan kewajiban Wajib PAjak yang tercatat sebagai afiliansi tersebut tentu saja harus dikenai pungutan Pajak Penghasilan. Pajak juga memiliki ketentuan dalam mengatur prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak afiliansi dimana prinsip ini mengatur mekanisme transfer pricing dengan harga wajar. Sedangkan fenomena yang ada secara fakta membuat kerugian negara.Â
Bagaimana sikap negara untuk mencegah kerugian pajak tersebut? Disini penulis menggiring pada sebuah pola pemikiran dari sebuah jurnal bahwa kemampuan negara untuk memobilisasi pendapatan pajak dan hasil negosiasi perjanjian pajak, ukuran pendapatan pemerintah dan ketergantungan pajak dari perusahaan mempengaruhi pengorbanan pendapatan dan pemikiran pembuat kebijakan aturan. Efek dari perjanjian membatasi kemampuan negara-negara untuk mengenakan pajak kepada investor dalam, seolah-olah untuk meringankan pajak berganda dank arena untuk menarik investasi ke dalam (perusahaan). Negosiasi perjajian pajak umumnya berasumsi pada penilaian rasional terhadap biaya dan manfaat (Barthel & Neumayer, 2012; Chisik & Amp Davies,2004; Rixen & Schwarz, 2009).Â
Barthel & Neumayer (2012) mengembangkan model yang menyarankan persaingan untuk investasi ke dalam mendorong keputusan negara-negara berkembang untuk masuk dalam perjanjian pajak. Sedangkan Rixen & Schwrz (2009) mengembangkan isi perjanjian pajak yang dinegosiasikan menunjukan negara pengimport modal atau negara sumber atau negara berkembang bernegosiasi lebih keras ketika pengorbanan fiscal yang ditimbulkan oleh perjanjian memiliki potensi membebani mereka. Kemudian Hearson (2016) menanggapi dengan memberikan penilaian lebih komprehensiv dan terperinci tentang hasil negosiasi perjanjian untuk masalah yang berbeda, dalam perjanjian yang melibatkan pendapatan pemerintah dari data dan kinerja pajak di negara berkembang serta ketergantungan pajak pada perusahaan. Hal ini memberikan gambaran tentang pentingnya pengorbanan pendapatan dalam perjanjian pajak untuk basis pendapatan pemerintahan dan betapa menonjolnya pihak pembuat kebijakan.
OECD sebagai organisasi yang menerbitkan Harmonisasi Undang-Undang Perpajakan mengatakan bahwa perjanjian pajak berganda memiliki tujuan untuk mempromosikan perdagangan dan investasi dengan mengurangi potensi bahwa perusahaan yang beroperasi di kedua negara akan dikenakan pajak dua kali pada pendapatan yang sama. Tujuan utama konvensi perpajakan berganda adalah untuk mempromosikan dengan mnghilangkan pajak berganda international, pertukaran barang dan jasa serta pergerakan modal dan orang (OECD,2014;59).
Perjanjian pajak bilateral menetapkan batas atas pendapatan pajak yang diperoleh dalam satu mitra perjanjian oleh penduduk yang lain dan paling sering perusahaan multinasional. Dalam negosiasi bergaya antara negara berkembang yaitu importir modal atau negara sumber dan negara maju atau eksportir modal dan negara domisili, hal ini negara berkembang memiliki kendala untuk mengenakan pajak pada investor ke dalam. Kendalanya, antara lain:
1. Tarif pemotongan pajak
2. Pembentukan permanen yaitu tingkat aktivitas minimum yang harus dimiliki penduduk asing di negara sumber atau di negara berkembang sebelum mendapatkan tanggung jwab atas pajak di negara berkembang tersebut atas keuntungannya.