Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kasus Pengunduran Diri Ratu Wulla Mencederai Demokrasi

19 Maret 2024   07:23 Diperbarui: 19 Maret 2024   09:57 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini, disaat publik menanti penetapan rekapitulasi nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, justru publik digemparkan dengan berita pengunduran diri Calon DPR RI Nomor urut 5 Partai Nasdem atas nama Ratu Ngadu Bonu Wulla Talu atau yang akrab disapa Ratu Wulla. Berawal dari surat pengunduran diri yang disampaikan oleh saksi Partai Nasdem paad saat rekapitulasi di KPU.

Alasan pengunduran diri Ratu Wulla masih menimbulkan tanda tanya di masyarakat karena Partai Nasdem dan Ratu Wulla enggan berkomentar banyak. Justru, tanda tanya ini menimbulkan banyak multitafsir di kalangan masayarakat, bahkan tidak sedikit yang mengaitkan pegunduran diri Ratu Wulla dengan transaksi politik dalam intetnal Partai Nasdem.

Pengamat politik Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mikhael Raja Muda Bataona menilai Ratu Wulla mundur sebagai caleg DPR RI untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar. Sebab, tidak mungkin seorang politikus rela kehilangan jabatan jika tidak ada sesuatu yang menguntungkan.

"Jadi, apabila dibuat semacam hipotesis akademik tentang pengunduran diri Ratu Wulla ini, maka jawaban paling masuk akal adalah pasti ia rela kehilangan untuk mendapat sesuatu yang lebih besar dari itu," terang Mikhael dalam sambungan telepon kepada detikBali, Selasa (12/3/2024).

Transaksi politik yang diduga pun masih misterius, apakah transaksi dalam bentuk uang atau jabatan? Terlepas dari dugaan transaksi politik dalam internal partai, penulis tidak tanggung-tanggung mengatakan bahwa peristiwa ini mencederai demokrasi di Indonesia.

Demokrasi di Indonesia sejak Pemilu tahun 2009 beralih dari sistem proporsional tertutup ke sistem proporsional terbuka. Salah satu hal paling mendasar yang menjadi kritik utama atas sistem proporsional tertutup adalah masalah tingkat keterwakilan adalah kurang menjamin terbangunnya kedekatan antara calon legislatif dengan konstituennya (rakyat).

Sistem proporsional tertutup adalah sistem pemilu pada masa orde baru, ada praktek mobilisasi masa dari partai politik untuk memilih partai tertentu tanpa kenal siapa caleg yang akan dipilih oleh Partai Politik.

Sistem ini kurang menjamin masyarakat untuk mengetahui latar belakang dan kapabilitas caleg yang akan mewakili mereka di parlemen sehingga situasi membeli kucing dalam karung bagi pemilih bisa terjadi, pemilih tidak tahu kucingnya nakal atau penurut.

Salah satu norma pemilu yang direkomendasikan untuk menguatkan sistem demokrasi di indonesia adalah derajat keterwakilan (representativeness). Karena sejatinya esensi dari pemilu adalah metode untuk memilih perwakilan warga yang representatif. Perwakilan yang representatif adalah perwakilan yang dinilai dapat mewakili rakyat dan menjadi saluran aspirasi.

Bahkan, kualitas pemilu dapat diukur oleh tingkat keterwakilan yang dihasilkan oleh sebuah pemilu. Semakin tinggi tingkat keterwakilan politik warga maka pemilu semakin berkualitas. Dengan demikian Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar diwujudkan dalam sistem proporsional terbuka ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun