Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Apropriasi Budaya, Alat Politik yang Tak Disadari

11 November 2023   09:23 Diperbarui: 14 November 2023   12:36 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satunya karena dalam adat Papua, perempuan tidak diperbolehkan untuk memegang busur dan panah. Nia Ingrid dituduh melakukan apropriasi budaya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata apropriasi memiliki arti perbuatan mengambil atau menggunakan sesuatu, tanpa memahami atau menghargai hal tersebut. 

Menurut Yohana Nabilla Wuryanto dalam tulisan Mengenal Apropriasi Budaya, Pengertian, Perbedaan, Hingga Penyebabnya di Narasi berpendapat bahwa apropriasi budaya adalah perbuatan untuk meniru sesuatu dengan cara yang salah.

Sementara menurut sejarawan George Lipsitz, ketika elemen dari budaya kelompok marjinal diambil dengan tujuan dieksploitasi demi keuntungan sosial atau ekonomi, tanpa adanya pemahaman atau rasa hormat terhadap makna dari budayanya itu sendiri, itu dinamakan apropriasi.

Ilustrasi | www.myeducationrepublic.com
Ilustrasi | www.myeducationrepublic.com

Kata "eksploitasi" dalam pendapat George Lipsitz perlu digarisbawahi. Penggunaan elemen budaya tersebut memiliki tujuan yang sifatnya untuk keuntungan pihak yang menggunakannya sehingga terjadi eksploitasi budaya.

Di daerah penulis, Nusa Tenggara Timur, elemen-elemen budaya Timor, secara khusus Suku Atoin Meto digunakan oleh para politisi untuk meraup suara dari masyarakat suku Atoin Meto. 

Sedangkan di daerah pemilihan NTT II, masyarakat Suku Atoni Meto merupakan suku terbesar, dalam bahasa-bahasa politisi, lumbung suara untuk menang terletak di wilayah masyarakat Suku Atoni Meto.

Alat politik semacam ini ternyata telah digunakan sejak Pemilu 2004. Banyak calon legislatif yang berasal dari luar daerah melakukan safari politik dengan menggunakan pakaian adat, menggunakan istilah-istilah budaya, alih-alih melakukan sosialisasi dan pendidikan politik, justru yang terjadi adalah politik apropriasi budaya.

Setelah berhasil melakukan apropriasi, politik identitas perlahan-perlahan dimainkan, dengan mengajak masyarakat memilih orang-orang yang sesuku dengan memperlihatkan hasil apropriasinya seperti menggunakan pakaian adat di setiap alat peraga kampanye dengan istilah-istilah budaya setempat. 

Padahal dalam peraturan perundang-undangan, politisi cukup menyampaikan citra diri, visi, misi dan program untuk meyakinkan pemilih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun