Tahun 2023 adalah tahun yang istimewah bagi saya karena berhasil menerbitkan buku pertama saya selama berkiprah di dunia kepenulisan (kompasiana). Buku ini saya beri judul Alat ma Atolan, Kumpulan Artikel Tentang Adat dan Aturan Suku Atoin Meto, Timor Tengah Selatan. Selama tahun 2022, buku dalam proses penerbitan hingga, akhir tahun 2022, saya menerima hasil cetakan yang sudah memiliki ISBN.
Buku ini bermula dari upaya menggali narasi-narasi budaya dan bahasa Suku Atoni (Atoin Meto) untuk menjawab krisis budaya dan bahasa yang sedang ada di depan mata. Memang terlalu dini jika saya mengklaim budaya dan bahasa atoin meto terancam punah tetapi sejauh pengamatan saya, mayoritas generasi muda cenderung mengikuti pengaruh modernisasi yang tanpa sadar perlahan menggeser eksistensi budaya.
Dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Erna Suminar, Dosen Universitas Kebangsaan dalam jurnalnya berjudul "Komunikasi dan Identitas Kultural Remaja Suku Dawan di Kota Kupang, Timor Barat, Nusa Tenggara Timur". Ia menemukan bahwa remaja atoin meto mencari cara yang baru untuk tampil berbeda dibandingkan sebelumnya. Tujuannya untuk memperlihatkan identitas dirinya yang baru sebagai bagian dari gaya hidup di kota besar.
Jauh sebelum saya berinisiatif untuk menulis tentang budaya dan bahasa, saya termasuk dalam golongan generasi muda yang tidak mau mempelajari budaya apalagi mempraktikannya. Saya juga menjadi salah satu orang yang beranggapan bahwa budaya dan bahasa daerah adalah milik orang yang 'kampungan'.
Dalam sebuah wawancara dengan Raja Boti, Namah Benu oleh Watchdoc, ia mengatakan bahwa jika mereka memiliki empat orang anak maka salah satunya tidak boleh bersekolah untuk melanjutkan tongkat estafet adat istiadat.
Artinya ada anggapan bahwa seseorang yang bersekolah enggan kembali ke kampung untuk mewarisi budaya atau adat istiadat yang sudah ditetapkan oleh nenek moyang sejak zaman dahulu. Ini menimbulkan sebuah dilema bagi orangtua yang menyekolahkan anak. Sekolah atau tidak sekolah memiliki konsekuensi yang harus ditanggung. Sekolah akan menjadi pintar tapi melupakan budaya---tidak sekolah akan menjadi bodoh tapi memelihara budaya.
Hari-hari ini, budaya dan bahasa seolah tak penting untuk dipelajari oleh generasi muda. Sekolah formal yang diandalkan hanya mengajarkan budaya berbasis sejarah dan budaya dari luar daerah sedangkan tradisi dan bahasa daerah seolah tidak lebih penting. Penutur pun semakin berkurang seiring berjalannya waktu.
Karena itu, artikel-artikel dalam buku tersebut diharapkan menjadi salah satu referensi generasi muda yang ingin mempelajari budaya dan bahasa atoin meto. Meskipun buku tersebut tidak memiliki sumbangsih yang besar seperti buku-buku yang ditulis oleh para sejarawan, antropolog dan budayawan, setidaknya buku ini memberi secuil kontribusi dalam upaya pelestarian budaya dan bahasa atoin meto di bidang pendidikan kontekstual.
Untuk itu, ucapan terima kasih saya hanturkan kepada Kompasiana, salah satu platform blog terbesar di Indonesia yang memberi saya ruang untuk menulis dan akhirnya menerbitkan buku.
Juga, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para penutur yang saya temui, kedua orangtua saya, para tua-tua adat yang tidak pernah jenuh menuturkan sejarah dan budaya sehingga menjadi referensi utama dalam menulis artikel-artikel dalam buku tersebut.