Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hela Keta, Ritual Perdamaian dalam Budaya Suku Dawan (Timor)

8 Februari 2022   16:56 Diperbarui: 27 Juni 2022   14:48 2225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Neno Anderias Salukh

Pada zaman dahulu, perebutan tanah ulayat di Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terjadi di mana-mana, dilakukan oleh berbagai klan atau suku yang berkuasa di sebuah wilayah dengan klan atau suku yang berkuasa di wilayah lainnya.

Perebutan tanah ulayat ini diwarnai dengan perang antar klan atau suku untuk menentukan batas kekuasaan terhadap tanah ulayat. Menurut tutur para tua adat, setelah perang antar klan atau suku, kedua pihak yang terlibat akan lebih memperjelas batas wilayah kekuasaan.

Sedangkan klan atau suku yang tidak berperang akan selalu mempermasalahkan batas-batas wilayahnya, dan ini akan memicu perang antar suku atau klan. Sampai kapan batas wilayah kekuasaan terhadap tanah ulayat jelas dalam sebuah perjanjian.

Dalam perang suku atau klan, tidak sedikit dari mereka yang berperang, tewas sebagai pahlawan. Ini menimbulkan sebuah kekecewaan besar dan perasaan sakit hati bagi keluarga yang ditinggalkan terutama suku atau klan yang dibela.

Maka kebiasaan atoin meto adalah melakukan sumpah dan janji sakral yang tidak bisa dilanggar oleh siapapun termasuk anak cucu mereka. Sumpah dan janji biasanya dilakukan atas dasar kekecewaan atau sakit hati karena keluarga mereka menjadi korban perang.

Nah, salah satu isi sumpah adalah larangan kawin-mawin antara kedua suku atau klan dari generasi ke generasi.

Dengan adanya janji atau sumpah tersebut, peristiwa perang suku, sumpah dan janji yang telah terjadi tidak boleh dilupakan oleh atoin meto tetapi dituturkan oleh nenek moyang ke generasi berikutnya dan terus berlanjut dari generasi ke generasi.

Karena menurut kepercayaan atoin meto, setiap orang yang dengan sengaja atau tidak sengaja melanggar sumpah atau janji para leluhur akan menemui banyak masalah hidup bahkan kematian.

Namun, semakin ke sini, kawin-mawin tidak lagi terbatas pada fe lanan ma moen lanan lagi tetapi sudah terjadi antar klan dan suku yang berpotensi terjadi perkawinan antara kedua klan atau suku yang telah bersumpah di masa lampau.

Jika terjadi demikian, maka bagaimana dengan sumpah dan janji yang telah dikeluarkan oleh nenek moyang?

Pertanyaan inilah yang melahirkan ritual hela pa'pai ma ket kotif atau yang lebih familiar dengan sebutan hel keta/hela keta. Hel/hela berarti tarik dan keta berarti lidi sehingga secara harafiah hel keta berarti tarik lidi.

Tarik lidi dilakukan di sebuah sungai oleh juru bicara dari keluarga laki-laki maupun keluarga perempuan sebelum tahapan-tahapan pernikahan dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi karena sumpah yang telah diucapkan.

Hel keta dilakukan dengan memegang kedua lidi lalu para jubir masing-masing menarik salah satu lalu dibuang ke belakang untuk dibawa oleh arus sungai. Polin koit fef manta'en han manta'en (membuang mulut janji dan suara janji ke belakang).

Hal ini berarti kedua suku atau klan bersepakat untuk berdamai dengan melupakan segala hal-hal seperti sumpah yang telah dilakukan oleh nenek moyang mereka. Baik itu amarah, benci, dan segala bentuk sumpah yang keluar dari mulut mereka.

Lidi melambangkan sumpah yang telah diucapkan oleh nenek moyang, diharapkan pergi bersama arus sungai dan tidak ada lagi sumpah dan permusuhan antara kedua suku atau klan dari generasi ke generasi.

Karena bagi atoin meto, kawin-mawin adalah cara terbaik menjalin kembali tali persaudaraan yang sempat terputus akibat perang. Karena itu, sumpah yang telah diucapkan harus diselesaikan agar anak cucu kedua suku atau klan boleh kawin satu sama lain.

Pro-kontra Ritual Hel Keta

Rupanya tradisi ini menuai polemik di lingkungan gereja Katholik. Baru-baru ini, Keuskupan Atambua mengeluarkan sebuah larangan terhadap tradisi hel keta tersebut.

Keuskupan Atambua menuliskan beberapa poin sebagai alasan pelarangan tradisi tersebut dalam Surat Pemberitahuan oleh Uskup Atambua kepada para pastor dan seluruh agen pastoral, bernomor 14/2022, tertanggal 05/02/2022, dengan perihal "Pelarangan Acara Hel Keta".

Pertama, bertentangan dengan iman Katolik (praktik superstisi dan mythis-magis)

Kedua, tidak memiliki dasar dalam kehidupan sosio-kultural

Ketiga, memecah-belah hubungan kekerabatan dan hubungan antar manusia

Keempat, menambah beratnya beban ekonomi keluarga dan masyarakat.

Larangan ini menuai protes dari mayoritas masyarakat atoin meto yang menganut ajaran agama Katholik di wilayah Keuskupan Atambua termasuk penulis sebagai atoin meto.

Menurut penulis, alasan pertama pelarangan hel keta adalah urusan iman Katholik yang perlu diselesaikan dalam lingkup jemaat bukan hanya di lingkup petinggi gereja. Kemudian jika benar-benar tidak diizinkan dalam ajaran agama Katholik maka tidak menimbulkan reaksi keras dari umat.

Namun, jika penulis diizinkan untuk mengemukakan pendapat, maka bagi penulis, gereja Katholik semestinya memfasilitasi ritual hel keta dengan doa bersama untuk mengakhiri sumpah permusuhan oleh para nenek moyang. Bukankah gereja menginginkan sebuah perdamaian dalam hati setiap manusia?

Alasan kedua, ketiga dan keempat dalam larangan terhadap hel keta terkesan ada upaya untuk menghancurkan tradisi karena tidak ada kajian yang membuktikan bahwa hel keta tidak memiliki dasar dalam kehidupan sosio-kultural atoin meto.

Tidak ada penelitian yang membuktikan bahwa hel keta memecah-belah hubungan kekerabatan dan hubungan antar manusia. Juga, tidak ada penelitian yang membuktikan bahwa hel keta menambah beratnya beban ekonomi keluarga dan masyarakat.

Jika ada kajian dan penelitian yang dijadikan sebagai dasar larangan maka kajian dan penelitian-penelitian tersebut harus melalui proses diskusi akademik yang panjang dengan melibatkan semua unsur termasuk para pelaku budaya yaitu masyarakat atoin meto itu sendiri. Agar tidak ada multitafsir dari masyarakat terhadap surat larangan tersebut.

Salam!

Referensi: Media Kupang

Timor Tengah Selatan, 08 Februari 2022

Neno Anderias Salukh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun