Jika para ilmuwan belum berhasil membudidayakan lebah madu raksasa ini, masyarakat atoin meto dengan relasinya yang sangat kuat dengan alam dan segala macam keanekaragaman hayatinya, mampu membudidayakan lebah madu raksasa tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah dibuat.
Selain Tome Pires yang menulis tentang kekayaan alam Pulau Timor dalam bukunya Suma Oriental, ada seorang panglima perang asal Portugis yang mengirim surat kepada Raja Manuel di Lisboa (Portugal) pada tanggal 06 Januari 1514 juga menulis tentang kekayaan alam pulau ini.
Surat tersebut berisi tentang kekagumannya terhadap Pulau Timor, sebagai pulau yang bukan hanya menghasilkan kayu cendana, tetapi melimpah madu dan lilin.Â
Memang benar, madu dan lilin merupakan dua dari tiga komoditas utama dari Pulau Timor yang menjadi incaran bangsa-bangsa Eropa.
Waktu itu, Spanyol, Portugis dan Belanda kepincut dengan laporan para pedagang dan panglima-panglima perangnya tentang Timor.Â
Ketertarikan itulah yang mengakibatkan Pulau Timor dijajah ratusan tahun hanya untuk kepentingan perdagangan cendana, madu dan lilin.
Madu dan lilin menarik bagi bangsa Eropa karena memiliki kualitas yang sangat tinggi.Â
Saat ini, madu dari Pulau Timor diklaim sebagai madu nomor tiga di dunia setelah Yunani dan Australia sehingga pada zaman itu, madu dan lilin dimonopoli oleh bangsa Eropa, bahkan, mereka menguasai sistem kerajaan raja-raja Timor demi memudahkan mereka dalam mengumpulkan komoditas-komoditas tersebut.
Lebah Madu dalam Budaya Suku Dawan (Atoin Meto)
Madu dalam bahasa Dawan (Uab Meto) disebut oin oef. Oin merupakan metatesis dari oni yang pada konteks ini berarti lebah dan oef berasal dari kata dasar oe yang berarti air sehingga oin oef berarti air yang dihasilkan oleh lebah.