Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lebah Madu dalam Budaya Suku Dawan (Timor)

3 Januari 2022   22:23 Diperbarui: 1 April 2022   10:58 3817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshot dari YouTube Nanang Sujana/CIFOR

Jika para ilmuwan belum berhasil membudidayakan lebah madu raksasa ini, masyarakat atoin meto dengan relasinya yang sangat kuat dengan alam dan segala macam keanekaragaman hayatinya, mampu membudidayakan lebah madu raksasa tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah dibuat.

Selain Tome Pires yang menulis tentang kekayaan alam Pulau Timor dalam bukunya Suma Oriental, ada seorang panglima perang asal Portugis yang mengirim surat kepada Raja Manuel di Lisboa (Portugal) pada tanggal 06 Januari 1514 juga menulis tentang kekayaan alam pulau ini.

Surat tersebut berisi tentang kekagumannya terhadap Pulau Timor, sebagai pulau yang bukan hanya menghasilkan kayu cendana, tetapi melimpah madu dan lilin. 

Memang benar, madu dan lilin merupakan dua dari tiga komoditas utama dari Pulau Timor yang menjadi incaran bangsa-bangsa Eropa.

Waktu itu, Spanyol, Portugis dan Belanda kepincut dengan laporan para pedagang dan panglima-panglima perangnya tentang Timor. 

Ketertarikan itulah yang mengakibatkan Pulau Timor dijajah ratusan tahun hanya untuk kepentingan perdagangan cendana, madu dan lilin.

Madu dan lilin menarik bagi bangsa Eropa karena memiliki kualitas yang sangat tinggi. 

Saat ini, madu dari Pulau Timor diklaim sebagai madu nomor tiga di dunia setelah Yunani dan Australia sehingga pada zaman itu, madu dan lilin dimonopoli oleh bangsa Eropa, bahkan, mereka menguasai sistem kerajaan raja-raja Timor demi memudahkan mereka dalam mengumpulkan komoditas-komoditas tersebut.

Lebah Madu dalam Budaya Suku Dawan (Atoin Meto)

Madu dalam bahasa Dawan (Uab Meto) disebut oin oef. Oin merupakan metatesis dari oni yang pada konteks ini berarti lebah dan oef berasal dari kata dasar oe yang berarti air sehingga oin oef berarti air yang dihasilkan oleh lebah.

Penyebutan lainnya adalah oin hau. Oin merupakan metatesis dari oni yang pada konteks ini berarti sesuatu yang manis (gula) dan hau berarti pohon, sehingga oin hau berarti gula yang diambil dari pohon.

Sementara lilin dalam uab meto dialek Amanuban disebut nini'.

Terdapat beberapa jenis lebah penghasil madu yang dimanfaatkan oleh orang Timor secara khusus suku Dawan (atoin meto) yaitu apis dorsata, apis cerana indica dan apis andreniformis. Tetapi, jenis apis dorsata adalah jenis yang paling istimewa bagi masyarakat atoin meto.

Dalam zoologi, apis dorsata dikenal sebagai jenis lebah madu raksasa yang berhabitat di hutan dengan dengan sisiran sarang yang menggantung di dahan atau ranting pohon, langit-langit terbuka dan tebing jurang bebatuan. 

Rupanya spesies ini hanya berkembang di kawasan sub-tropis dan tropis Asia, seperti Indonesia, Filipina, India, Nepal, tetapi tidak tersebar di luar Asia.

Di Indonesia sendiri dapat ditemukan di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Nusa Tenggara. Sementara di Nusa Tenggara Timur, spesis ini menjadikan Pulau Timor sebagai habitat paling ideal. Karena Pulau Timor memiliki hutan terbuka dengan pepohonan besar dan tinggi yang sejatinya merupakan tempat paling nyaman bagi spesies ini.

Nah, habitat lebah madu raksasa ini merupakan salah satu bentuk perlindungan atau pertahanan diri dari serangan liar termasuk manusia yang akan kesulitan memanjat pohon besar dan tinggi. 

Selain itu, berdasarkan kearifan lokal, lebah madu raksasa ini memiliki sengatan yang luar biasa bahkan mengakibatkan kematian karena ukuran lebah yang lebih besar dari lebah pada umumnya.

Hal yang paling menarik adalah dengan bentuk perlindungan diri sesulit dan seganas itu, masyarakat atoin meto mampu menjalin relasi yang harmonis dengan lebah tersebut. 

Orang atoin meto bisa memanjat pohon yang tingginya mencapai 80 meter dengan diameter 1-1,5 meter tanpa rasa takut yang dapat menimbulkan kecelakaan.

Akan tetapi, keamanan itu dijamin dengan dua perjanjian atau ketentuan yang mana manusia menjamin habitat yang nyaman dan manusia wajib mengambil madu dan lilin pada waktunya.

Jika para ilmuwan belum berhasil membudidayakan lebah madu raksasa ini, masyarakat atoin meto dengan relasinya yang sangat kuat dengan alam dan segala macam keanekaragaman hayatinya, mampu membudidayakan lebah madu raksasa tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah dibuat.

Lebah madu raksasa ini dibudidayakan di pohon-pohon besar yang sangat tinggi dengan cara melakukan ritual di pohon yang telah disiapkan sebagai tempat budidaya. 

Ritual ini dilakukan oleh beberapa orang dengan menyembelih ayam berbulu 'kuning lebah' sambil mengucapkan tutur sebagai komunikasi rahasia antara manusia dengan lebah.

Setelah ritual selesai maka lebah ratu yang bertanggung jawab dalam koloni lebah madu diambil dari tempat lain lalu dibawa ke pohon tersebut. Tentunya proses pemindahan ratu lebah madu itu berdasarkan ritual pula yang menjamin keamanan.

Lebah madu raksasa ini biasanya memiliki satu sisir sarang (single comb) tetapi jika dibudidayakan dengan ritual adat maka akan berkembang membentuk banyak sisir (combs) pada pohon tersebut bahkan bisa berkembang di banyak pohon dalam sebuah area hutan. Tetapi, lebah madu tersebut tidak akan pernah berpindah dari pohon tersebut kecuali manusia melanggar perjanjian yang telah ditetapkan.

Hal yang paling unik dan paling menarik adalah pesta panen yang dilakukan pada malam hari dengan melibatkan seorang jubir (biasanya tokoh adat), seorang teknisi, dan sekelompok orang yang memiliki kemampuan supranatural dalam membangun relasi dengan alam terutama lebah madu.


Jubir atau tokoh adat bertugas sebagai pemimpin adat, teknisi bertugas sebagai pemanjat pohon dan beberapa orang yang bertugas mengucapkan sastra lisan dan melakukan tarian.

Tarian yang dilakukan adalah tarian Bonet yang dilakukan dengan cara melingkari pohon sambil jubir dan beberapa orang yang melingkari pohon dengan mengucapkan pantun-pantun yang dinyanyikan sebagai bentuk pujaan kepada dewa lebah.

Sarang lebah dipanen dengan cara mengusir kawanan lebah menggunakan asap kemudian sarangnya dipotong dengan menyisakan sedikit di ranting tempat sarang menggantung. 

Atoin meto percaya bahwa jika sarangnya yang dipotong melekat dengan dahan maka teknisi akan meninggal dunia.

Tetapi, sebenarnya tujuan menyisakan sedikit sarang lebah pada dahan agar kawanan lebah tersebut tidak meninggalkan sarangnya setelah pemanenan selesai dilakukan. Hanya saja manusia dengan keserakahannya bisa mengambil semua tanpa menyisakan tempat yang bisa membuat kawanan lebah meninggalkan tempat tersebut sehingga lahirlah keyakinan yang dipercayai hingga saat ini, jika dilanggar, benar, kematian menjemput.

Tetapi, atoin meto juga percaya bahwa dewa lebah akan melindungi teknisi sepanjang pemanenan dari segala bentuk kecelakaan seperti jatuh dari pohon, pohon yang tumbang, dahan yang patah, termasuk sengatan lebah jika tidak ada aturan dan ketentuan adat bersama lebah yang dilanggar. Misalnya, dalam pemanenan, ritual adat tidak dilakukan maka dewa lebah akan membunuh teknisi atau siapapun yang terlibat dengan cara yang tidak dapat disangka.

Setelah pemanenan, tidak seperti lebah pada umumnya yang akan meninggalkan tempat tersebut dan mencari tempat baru, lebah madu raksasa ini tetap bertahan untuk menghasilkan madu dan lilin yang kemudian akan dipanen pada beberapa bulan berikutnya. Biasanya, pemanen dilakukan dua kali dalam setahun.

Bagaimana jika madu dan lilin yang dihasilkan oleh lebah madu tidak dipanen? Lebah madu tersebut akan bermigrasi dari pohon tersebut ke tempat yang lain karena manusia melanggar perjanjian dengan tidak memanfaatkan apa yang lebah madu hasilkan.

Selain itu, pohon tersebut juga akan mati secara perlahan. Penulis membuktikan hal ini dikampung penulis. Dua pohon besar yang dijadikan sebagai tempat budidaya lebah madu raksasa mati secara tiba-tiba karena hasilnya tidak dipanen. Salah satu penyebab adalah tidak ada regenerasi jubir dan teknisi pemanen lebah.

Sementara madu hutan dari Pulau Timor dengan kualitas nomor tiga di dunia juga dipengaruhi oleh keanekaragaman hayati berupa flora seperti ampupu, bijama, haubesi, cemara gunung, kasuari, matoi, oben, cendana, paku-pakuan dan masih banyak lagi dengan berbagai macam jenis nektar yang dimanfaatkan oleh lebah dengan mengambil nektar sebagai bahan dasar pembuatan madu dan lilin.

Nah, keberadaan lebah madu di Pulau Timor dan relasi budaya atoin meto dengan lebah madu tersebut merupakan relasi yang merawat alam. 

Manusia tanpa sadar membangun sebuah kepercayaan dan aturan hukum adat untuk melindungi keanekaragaman hayati jika ingin memperoleh hasil-hasil yang memuaskan.

Relasi manusia dengan lebah mendukung salah satu hukum konservasi atoin meto untuk melindungi alam (Baca: Banu, Hukum Konservasi Lingkungan Hidup Suku Dawan (Timor). Tetapi, aturan hukum adat ini semakin melemah seiring berjalannya waktu karena relasi manusia dengan alam yang semakin dipisahkan oleh tembok modernisasi.

Kupang, 03 Januari 2022

Beta atoin meto, Neno Anderias Salukh

Referensi utama:
1. Pengamatan dan wawancara etnografi di daerah penulis

Referensi tambahan:

1. Buku Paradise in Timor Island - TTS Regency oleh Asnath M. Fuah, dk
2. Tradisi Panen Madu Hutan Masyarakat Olin-Fobia-CATRIONA CROFT-CUSWORTH
3. Apis dorsata

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun