Beberapa bulan yang lalu, penulis sebagai salah satu founder komunitas belajar di Timor Tengah Selatan (TTS) dengan salah satu programnya adalah Bimbingan Belajar Kontekstual, difasilitasi oleh beberapa mitra, diberi kesempatan untuk belajar dari sistem pembelajaran di Erudio Indonesia.
Di Erudio Indonesia menjunjung tinggi prinsip belajar lebih dari sekadar nilai dan kelas. Bagi mereka, belajar seharusnya tidak hanya terjadi di sekolah, namun merupakan proses pencarian pengetahuan di mana saja yang berkelanjutan sepanjang hidup.
Sepintas yang ditangkap penulis adalah pembelajaran di Erudio Indonesia berbasis proyek yang dikerjakan dimana saja; rumah, kebun, sawah, pasar, dan sebagainya. Semua yang dikerjakan datang dari anak itu sendiri sehingga dikerjakan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya, sementara guru hanya berperan sebagai fasilitator.
Kemudian penulis dan salah satu rekan setim penulis mencoba untuk menerapkan sesuai dengan konteks daerah penulis. Anak-anak mengerjakan proyek belajar berupa menanam sayuran, menenun, memasak, dan membuat kue dari berbagai macam pangan lokal dan sebagainya.
Yang kami lakukan adalah membangun kerja sama dengan orangtua, petani, dan penenun sebagai fasilitator pasif yang menolong penulis dan salah satu rekan penulis sebagai fasilitator aktif.
Dari pengalaman ini. Kemampuan non-teknis dan karakter anak-anak benar terlatih. Anak-anak bisa menenun, bisa membuat segala bentuk produk dari pangan lokal dan bisa bertani. Tetapi tidak sebatas itu, anak-anak disiapkan untuk menjadi penenun berwawasan, kreatif mengolah pangan lokal dan menjadi petani ilmiah.
Selain itu, Anak-anak saling membantu mengerjakan proyek; yang memiliki kemampuan lebih membantu mereka yang belum bisa, anak-anak membagi tugas kerja dan mendokumentasikan apa yang dikerjakan dan sebagainya.
Lebih dari itu, yang penulis harapkan adalah tumbuhnya rasa cinta anak terhadap potensi dan budaya di daerahnya atau setidaknya mata rantai stigma kehidupan yang lebih baik adalah meninggalkan kampung dapat diputuskan.
***
Diharapkan, selama dua tahun proses demonstrasi, Kurikulum Prototipe 2022 ini memberikan sebuah harapan baru untuk pengembangan kurikulum yang berpihak pada konteks budaya dan juga keunikan anak.