Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengembalikan Monyet kepada Gubernur NTT

10 Desember 2021   08:55 Diperbarui: 12 Desember 2021   08:36 2592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Ketika Gubernur NTT, Viktor Laiskodat menyebut Umbu Maramba Hau seperti monyet dalam konflik tanah ulayat di Sumba, sejatinya Viktor Laiskodat mengembalikan itu pada dirinya sendiri karena ucapan yang ia keluarkan tanpa melalui pemikiran terlebih dahulu.

Pemerintahan Viktor Laiskodat tidak memiliki kemampuan menyelesaikan konflik agraria secara damai. Penyelesainnya cenderung premanisme tanpa pendekatan humanisme. Tercatat dalam 3 tahun terakhir, terjadi beberapa konflik agraria antara masyarakat adat dan pemerintah serta masyarakat dan pihak investor.

Dalam konferensi pers WALHI NTT, pada Kamis 2 Desember 2021, kemarin, WALHI NTT menyebut beberapa kasus yang mencuat di ruang publik.

Di Sumba, ada sengketa di Pantai Marosi, Desa Patijala Bawa, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat antara warga dengan PT Sutera Marosi dan sengketa lahan perkebunan tebu antara PT Muria Sumba Manis dengan Masyarakat Adat Umalulu dan Rindi.

Di Flores, ada konflik tambang batu gamping dan batu semen milik PT Istindo Mitra Manggarai dan PT. Singa Merah di Manggarai dan konflik pembangunan waduk di Nagekeo.

Di Pulau Timor, sengketa Besipae yang akhirnya memicu konflik horizontal di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan konflik pembangunan tambak garam PT Indi Daya Kencana (IDK) Kabupaten Malaka.

Konflik agraria ini sejatinya bisa diselesaikan dengan baik oleh pemerintah jika pendekatannya menggunakan pendekatan humanis dan melibatkan semua pihak. Pendekatan secara budaya juga perlu dilakukan oleh pemerintah mengingat masyarakat NTT masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat.

Pemerintah daerah kelihatan tidak bekerja lebih ekstra dalam melakukan pendekatan, malah cenderung terburu-buru mengejar target tanpa melihat potensi konflik yang mungkin memakan korban nyawa seperti konflik di Sumba.

Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak memikirkan solusi secara total. Pemerintah masih mengandalkan otoritas dan power untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial di NTT yang sejatinya tidak bisa diandalkan dalam pembangunan manusia menjadi manusia seutuhnya.

Pemerintah tidak bisa memaksa masyarakat mengikuti apa yang pemerintah kehendaki tetapi pemerintah bisa melakukan segala sesuatu jika kebijakan-kebijakan yang dilakukan tidak terkesan frontal. Karena pada dasarnya masyarakat patuh pada pemerintah tetapi jika ada hal-hal yang tidak mereka terima, mereka akan melawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun