Kecemburuan sosial mulai timbul dari kaum minoritas, mereka yang menolak kekristenan waktu itu tak ada pilihan lain ketika melihat orang-orang yang sudah dibaptis mengalami perubahan hidup yang luar biasa maka pilihan terbaiknya adalah siap dibaptiskan untuk menerima kekristenan.
Hal ini diperparah dengan gejolak G30S PKI yang akhirnya memaksa semua orang harus memeluk salah satu agama yang diakui oleh negara, apalagi mereka yang ingin mendapatkan pendidikan atau sekolah. Dilema terus menghantui mereka yang masih berkutat pada kepercayaan lokal yang tidak diakui oleh negara.Â
Ditengah gempuran itu, Boti, sebuah kampung kecil di TTS masih berdiri pada pendiriannya. Menolak agama, menolak sekolah dan memilih hidup dengan alam dan kepercayaannya.
Seiring berjalannya waktu, kekristenan tidak berperan tunggal. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin melemahkan budaya atoin meto. Sebagian orang-orang muda bahkan orang tua sekalipun tidak percaya diri dengan balutan selimut, tas sirih pinang, apalagi makan sirih pinang.
Bahkan bahasa sekalipun dianggap sebagai bahasa milik orang yang tertinggal. Hal ini kemudian berkembang menjadi stigma seperti seperti stigma kafir.
Dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Erna Suminar, Dosen Universitas Kebangsaan dalam jurnalnya berjudul "Komunikasi dan Identitas Kultural Remaja Suku Dawan di Kota Kupang, Timor Barat, Nusa Tenggara Timur". Ia menemukan bahwa remaja atoin meto mencari cara yang baru untuk tampil berbeda dibandingkan sebelumnya.
Tujuannya untuk memperlihatkan identitas dirinya yang baru sebagai bagian dari gaya hidup di kota besar atau dengan kata lain tidak ingin memperlihatkan identitas aslinya yang dianggap sebagai identitas kampungan atau orang kolot.
Saat ini, budaya berusaha bangkit ditengah impitan gereja dan perkembangan ilmu pengetahuan. Tantangan bagi gereja dan sekolah, apa yang harus dilakukan dengan teologi dan kurikulum itu?
Salam!!!
Kupang, 20 November 2021
Neno Anderias Salukh