Rumah suci setiap keluarga dimusnahkan dengan kobaran api, tugu sesajen untuk alam pun demikian, senjata tradisional dan benda-benda warisan lainnya pun turut terbakar dengan rumah suci, bahkan rambut panjang laki-laki Timor dipotong secara paksa.
Pada zaman dahulu, Suku Dawan (atoin meto) di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki Uem Le'u atau Uem Nono. Uem merupakan metatesis dari ume yang berarti rumah dan le'u dalam konteks ini berarti suci sedangkan nono merupakan metatesis dari nonot yang berarti komunitas.
Sehingga Uem Le'u diartikan sebagai rumah suci dan dan Uem Nono sebagai rumah komunitas. Akan tetapi pengertian ini merujuk pada sebuah nilai kesakralan yang sama.
Merujuk pada penggunaan kata nonot oleh bapak-bapak Gereja di Timor zaman dahulu untuk menerjemahkan kata jemaat, mereka menambahkan knino (suci) menjadi nonot knino (komunitas suci) maka Uem Le'u atau Uem Nono adalah rumah suci bagi sebuah komunitas yang kemudian dikontekstualisasikan  dengan kekristenan.
Komunitas yang dimaksud merujuk pada komunitas keluarga, genealogi maupun suku dengan kebiasaan, adat istiadat maupun norma-norma yang berlaku didalam keluarga, genealogi atau suku tersebut. Jika ada yang melanggar norma-norma yang berlaku dalam komunitas maka konsekuensinya adalah sakit penyakit atau kematian.
Rumah suci dibuat hanya untuk upacara-upacara adat seperti perkawinan, kelahiran, kematian, pesta syukur hasil panen pertama, penyembuhan penyakit dan sebagainya, bukan untuk tempat tinggal.
Rumah suci diisi dengan benda-benda seperti uang perak, emas, kelewang, gong, batu ceper, periuk tanah dan sebagainya yang diwariskan nenek moyang sebagai simbol kesatuan hidup bersama seluruh anggota komunitas dibawah satu klan, marga atau suku dan satu kebiasaan/tradisi.
Pembuatan rumah suci seperti lopo tetapi tidak memiliki loteng sebagai tempat penyimpanan makanan. Tiang penopangnya sedikit lebih pendek dibandingkan dengan lopo. Dilengkapi dengan batu-batu ceper yang cukup besar sebagai tempat keperluan ritual.
Akan tetapi, ketika kekristenan masuk ke Pulau Timor, khususnya di kampung penulis di pedalaman Amanuban, pada tahun 1965, para tokoh agama berperan sebagai aktor penting dalam pemusnahan rumah suci.
Rumah suci setiap keluarga dimusnahkan dengan kobaran api, tugu sesajen untuk alam pun demikian, senjata tradisional dan benda-benda warisan lainnya pun turut terbakar dengan rumah suci, bahkan rambut panjang laki-laki Timor dipotong secara paksa.