Melihat kemiskinan sebagai masalah yang urgent untuk ditangani maka pemerintah daerah seharusnya tidak bergantung pada data BPS. Pemerintah daerah sebaiknya membentuk tim pemutakhiran data secara khusus yang bergerak di lapangan dengan pendataan yang lebih efektif.
Pendataan sebaiknya tak terbatas pada wawancara tetapi pendataan membutuhkan observasi agar data yang dikumpulkan tidak terkesan fiktif.Â
Pengalaman penulis di desa, pemerintah desa tidak dapat diandalkan dalam pendataan semacam ini karena dalam pelaporan data tak bisa dipungkiri mengandung data-data fiktif.
Masyarakat kita masih terpola dengan bantuan. Pendataan hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan dasar mereka selalu dihubungkan dengan bantuan. Jika ada pendataan, bantuan pasti ada maka kemungkinan adanya data fiktif untuk memperoleh bantuan tunai sangatlah mungkin.
Pengamatan penulis selama ini, pendataan hanya terbatas pada wawancara kepala keluarga tanpa observasi kepemilikan tanah, tanaman dan ternak serta usaha yang dilakukan.Â
Maka akan lebih bobrok ketika wawancara berhenti di pemerintahan desa atau data-data lama yang seharusnya sudah mubasir masih digunakan.
Ini bukan masalah baru bagi negeri kita. Tahun lalu, 2020, banyak bantuan langsung tunai disalurkan untuk orang yang sudah meninggal dunia. Data bencana seroja sejauh inipun disebut belum diselesaikan,. sementara bencana seroja menambah penduduk miskin karena harus kehilangan tempat tinggal, gagal panen, kehilangan lahan dan sebagainya.
Masalahnya adalah data. Pemerintah kita malas mengurus data, malas mengupdate data. Itu adalah poinnya. Karena itu penulis menyarankan agar tidak mengandalkan badan-badan atau instansi-instansi pendataan untuk mengurus data, pemerintah provinsi sebaiknya memiliki tim pemuktahiran data khusus.
Kedua, Birokrasi Harus Bersih
Pemerintah daerah NTT belum bebas dari masalah yang namanya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Tahun 2018, terdapat 11 kasus korupsi yang melibatkan 24 orang tersangka, serta kerugian negara mencapai Rp7.250.288.518.