Sarjana kok kerja kebun? Bagaimana bisa seorang petani milenial bergelar sarjana menghadapi pertanyaan sindiran semacam ini? Bertahan pada pilihan menjadi petani atau meninggalkan pilihan itu.
Pertanyaan sindiran ini seringkali menghantui pikiran penulis ketika penulis memutuskan untuk berkebun setelah meraih gelar sarjana. Pertanyaan ini wajar didapat karena mindset masyarakat di lingkungan penulis terhadap sarjana dan kebun adalah dua hal yang tak bisa dipertemukan.
Sarjana di mata masyarakat adalah seorang lulusan dari perguruan tinggi yang akan bekerja di instansi pemerintah dengan status Pegawai Negeri Sipil atau setidaknya berseragam rapi. Sementara kebun adalah tempat seseorang yang tidak berpendidikan.Â
Karena itu, sarjana yang bekerja di kebun adalah pilihan yang tidak dapat diterima dalam pola pikir masyarakat. Ketika pilihan itu tidak dapat diterima, maka muncullah pertanyaan sarjana kok kerja kebun?Â
Masyarakat akan menilai bahwa bekerja di kebun adalah pilihan terakhir seorang sarjana yang tidak diterima dalam seleksi Pegawai Negeri Sipil, seleksi pegawai perusahaan dan lainnya maka pertanyaan sarjana kok kerja kebun adalah sebuah sindiran yang merendahkan.
Akibatnya sarjana bisa saja tak dianggap dalam masyarakat bahkan dikucilkan dan tidak dilibatkan dalam dialog-dialog pembangunan dan pengembangan masyarakat.
Berangkat dari masalah ini, seorang sarjana yang bekerja di bidang pertanian adalah seseorang yang harus berani mengalahkan dirinya terlebih dahulu. Mengapa? Anggapan sarjana dan kebun tidak dapat dipertemukan sudah mengakar dalam dirinya.
Jika kemudian ia berhasil mengalahkan dirinya maka ia akan bertahan dalam gempuran sindiran masyarakat bahkan orang-orang terdekatnya sendiri.
Tak berhenti disitu, seorang sarjana harus membuktikan bahwa sarjana dan kebun harus disatukan di zaman ini. Karena petani harus berwawasan dan berinovasi. Istilah kerennya adalah petani ilmiah.
Petani ilmiah adalah petani yang mengandalkan ilmu pengetahuan alam (baik yang modern dan kearifan lokal). Petani yang mengkombinasikan pengetahuan modern dan kearifan lokal akan beradaptasi dengan perubahan iklim yang terus berubah setiap tahunnya sehingga ancaman gagal tanam dan gagal panen akan diminimalisir sedini mungkin.