Kalau ditanya apa yang membuat saya bahagia dan benar-benar memuaskan batin saya, jawabannya adalah kembali ke kampung halaman di Desa Oebo, Kecamatan Kuanfatu, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT). Saya yakin bahwa teman-teman di luar NTT tidak tahu tentang kampung saya. Kalaupun tahu, teman-teman hanya tahu sebatas NTT, kalau yang pernah mendarat di Pulau Timor pasti tahu Kabupaten TTS.
Sumber daya manusia (SDM) di kampung saya tertinggal dibandingkan dengan kampung-kampung tetangga yang sudah berlomba-lomba menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi. Sementara di kampung saya masih sebatas sekolah menengah kemudian memilih menjadi tenaga kerja di luar daerah hingga di luar negeri.
Bahkan, tidak sedikit yang menjadi korban perdagangan manusia; diperlakukan tidak adil selama bekerja; bekerja dengan tujuan mengubah nasib pun tidak terwujud, kehidupan mereka sebelum menjadi tenaga kerja dan sesudah menjadi tenaga kerja masih sama. Saudara-saudara saya juga menjadi bagian dari tragedi ini.
Sementara saya dan salah satu teman seangkatan saya yang mencoba memberanikan diri untuk menikmati dunia pendidikan tinggi (S1) yang sangat mahal dan tidak mungkin digapai di mata orang-orang di kampung saya.
Kemauan yang kuat akan membuahkan hasil. Itulah yang saya rasakan hingga menyelesaikan studi S1. Banyak suka-duka yang dilalui, perjuangan tak habis di kampus tapi masih dilanjutkan di kos, sementara orangtua berkeringat darah di kebun untuk mewujudkan impian anaknya menjadi seorang sarjana.
Hati saya menangis dengan keras. Kepala saya seakan pecah memikirkan bagaimana orang-orang di kampung saya, generasi-generasi baru yang akan tumbuh di tengah pengaruh modernisasi mendapatkan kesempatan yang sama seperti saya; mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi.
Akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Tujuannya adalah membangun kampung. Awal memikirkan pilihan ini pada saat saya masih studi S1 di Kupang sehingga belum memiliki konsep yang jelas bagaimana caranya bangun kampung.
Memilih kembali ke kampung halaman adalah pilihan tersulit yang pernah saya hadapi. Ada sejumlah alasan yang membuat saya dilema dalam menentukan pilihan.Â
Saya yang diperjuangkan orangtua untuk menjadi sarjana diharapkan menjadi batu sandaran keluarga. Memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang jelas terutama menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau menjadi karyawan BUMN.
Menjadi PNS atau bekerja di kantor dengan pakaian yang rapi adalah impian kebanyakan orang. Karena itu seorang sarjana yang memilih kembali kampung harus berani meninggalkan gengsi dan siap menghadapi omongan orang lain karena tidak memiliki "pekerjaan yang semestinya". Perasaan dilema saya semakin besar, bahkan pernah kehilangan mimpi kembali kampung.
Namun akhirnya saya menyadari bahwa harta dan kekayaan serta omongan orang lain tidak lebih penting dari berbagi kasih dengan orang lain, tidak lebih penting daripada memberi apa yang kita miliki kepada orang lain, dan tidak lebih dari menyantuni orang-orang yang membutuhkan uluran tangan kita.
Tekat saya bulat, mengabdi di kampung. Dua tahun pertama saya menimba pengalaman di Desa Mauleum, Kecamatan Amanuban Timur, Kabupaten TTS, NTT.Â
Baca:Â Pengabdian kepada Masyarakat oleh Mahasiswa UNPAM ke Taman Bacaan Perigi Depok
Saya menjadi guru matematika di SMP dan memberikan bimbingan belajar gratis setiap hari dirumah. Bimbingan belajar berawal dari temuan saya di sekolah, dimana pengetahuan dasar anak-anak masih minim, beberapa anak usia SMP belum bisa membaca. Ini masalah serius bagi saya.
Kami berharap, 10 tahun kemudian, ada anak-anak yang kami bina, bersekolah dan kembali mengabdi di kampung halaman setelah menyelesaikan studi sehingga melanjutkan perjuangan kami.
Pengalaman ini menjadi modal untuk kembali kampung halaman di Oebo. Saya memutuskan untuk mengakhiri masa pengabdian saya di Mauleum di tahun kedua.Â
Juli 2020, saya merintis komunitas belajar dengan konsep bimbingan belajar kontekstual, belajar bahasa Inggris dasar, kursus komputer, literasi budaya, dan masih banyak rencana-rencana yang belum terealisasi tetapi saat ini komunitas belajar sedang berjalan dengan konsep bimbingan kontekstual, membangun minat baca, belajar bahasa Inggris dasar, pengenalan komputer, dan pembinaan karakter.
Komunitas belajar ini adalah pendidikan alternatif yang membantu sekolah dalam meningkatkan kemampuan anak-anak agar menjadi kekuatan dalam berjuang meraih pendidikan yang lebih tinggi. Lagipula, banyak beasiswa yang disediakan sehingga kemampuan anak-anak terus digenjot untuk siap meraih kesempatan emas tersebut.
Sejauh ini, saya mendapat banyak dukungan dari individu maupun komunitas dalam menyukseskan komunitas belajar ini. Banyak sumbangan seperti buku dn lain-lain yang datang dari berbagi dan JNE merupakan salah satu media perantara. Karena itu, bagi saya, JNE bukan sekadar media pengiriman barang tetapi JNE juga berperan besar dalam dunia literasi.
Salam!
Timor Tengah Selatan, 18 Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H