Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Beranikah Partai Politik Keluar dari Kabinet?

1 Juli 2020   12:34 Diperbarui: 1 Juli 2020   12:31 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | gambar diambil dari Pinter Politik

Mungkinkah partai-partai politik tersinggung dengan kemarahan Jokowi terkait kinerja kader-kadernya di kabinet?

Kemarahan Presiden Jokowi kepada sejumlah menterinya mengindikasikan bahwa reshuffle kabinet akan terjadi sebentar lagi. Bagaimana tidak, penyerapan anggaran dalam penanganan Covid-19 tidak sesuai dengan ekspektasi presiden bahkan masih jauh dari yang diharapkan.

Kemarahan Presiden Jokowi membuka kesalahan masa lalunya sendiri yang tidak mengutamakan prinsip The Right Man on The Right Place. Memang demikian. Jika prinsip tersebut dikedepankan dalam pembentukan kabinet, mungkin hari ini kita tidak menyaksikan kemarahan presiden.

Kita menyaksikan bagaimana pembentukan kabinet di awal masa jabatan kedua presiden Jokowi. Pembentukannya terkesan terburu-buru. Istilahnya Sistem Kebut Semalam (SKS). Nah, kegagalan hari ini adalah konsekuensi logis yang harus diterima oleh presiden.

Oleh karena itu, kesempatan reshuffle kabinet ini dilakukan sebagai bentuk perbaikan kinerja kabinet. Harapannya prinsip The Right Man on The Right Place tersebut diterapkan dalam perombakan ini sehingga dapat menerjemahkan visi dan misi presiden terutama respon atas efek negatif yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.

Untuk menuju ke sana presiden harus berani. Bermodalkan hak prerogatif, pembentukan kabinet harus melalui seleksi yang ketat sehingga mereka yang kemudian diangkat sebagai pembantu presiden harus menjalankan program-program dengan baik bukan hanya sebagai hiasan yang menghuni sebuah etalase.

Beberapa hari yang lalu, salah satu artikel saya berjudul Reshuffle Kabinet, Momentum Menendang Parpol dari Kabinet yang ditulis pada Februari lalu menjadi Featured Article di Kompasiana. Artikel tersebut ditulis atas dasar hasil survei beberapa lembaga survei terhadap 100 hari kerja presiden dan para menterinya. Survei tersebut menunjukkan bahwa menteri-menteri yang berasal dari kalangan profesional bekerja jauh lebih baik daripada menteri-menteri yang berasal dari kalangan Partai Politik (Parpol).

Baca: Reshuffle Kabinet, Momentum Menendang Parpol dari Kabinet

Akan tetapi, kenyataannya hak prerogatif presiden belum berani menendang parpol dari kabinet karena ada unsur-unsur politik yang dipertimbangkan tetapi jika kinerja kader partai di kabinet tidak menunjukkan performa yang signifikan, siapa yang harus mengalah?

Akan sulit melihat presiden menendang parpol dari kabinet. Oleh karena itu, satu-satunya harapan adalah Parpol bersedia meletakkan egonya untuk tidak mencampuri urusan kabinet. Apakah Parpol berani keluar dari kabinet pada reshuffle kabinet kali ini?

Kontribusi partai politik di kabinet selalu terkesan negatif. Selain kasus korupsi yang melilit mereka, performa kerja juga tidak memuaskan. Akan tetapi, di Indonesia, Parpol selalu ngotot untuk mendapatkan kursi di kabinet dengan alasan sudah berkontribusi dalam kemenangan presiden.

Hal tersebut terlihat jelas meskipun hanya abu-abu sehingga presiden akan sulit mengambil keputusan karena ada perasaan berhutang jasa pada partai politik yang mengusung. Sehingga mengharapkan Kabinet Zaken yang dibentuk oleh oleh presiden adalah hal yang mustahil terjadi.

Dengan demikian, kita tidak dapat berharap banyak kepada presiden untuk membentuk kabinet yang murni dari kalangan profesional. Satu-satunya harapan adalah kepada partai politik.

Partai politik harus mengambil langkah berani untuk mundur dari kabinet jika memang kontribusi mereka tidak memiliki dampak yang baik dalam eksekusi program kerja. Meletakkan ego dan kepentingan politik demi kepentingan bangsa dan negara. Apalagi negara yang sedang dalam krisis.

Kita tidak tahu berapa lamanya pandemi ini meliputi negara. Semakin lama maka ekonomi pun akan terus anjlok. Orang-orang di sekitar presiden harus mampu membaca peluang ditengah himpitan pandemi untuk tetap menjaga kestabilan keuangan dan ekonomi negara.

Tulisan ini mencoba menantang keberanian partai untuk merefleksi kinerja dan kontribusi mereka selama ini. Ego dan kepentingan politik diletakkan untuk sementara. Biarkanlah presiden menentukan langkah negara tanpa intervensi politik partai.

Salam!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun