Perempuan Dawan antara Didikan dan Intimidasi
Perempuan yang rawan kekerasan seksual dididik keras oleh para orang tua termasuk tokoh-tokoh adat untuk terhindar dari berbagai bentuk kekerasan seksual apalagi yang dapat mengakibatkan kehamilan.
Zaman usia saya baru beranjak remaja, saya menyaksikan larangan para orang tua di kampung saya kepada perempuan untuk tidak tertawa terbahak-bahak atau berlebihan dalam mengekspresikan sesuatu yang lucu.
Perempuan hanya diperbolehkan untuk tertawa kecil dengan jarak frekuensi sekecil mungkin atau sebatas tersenyum agar tidak terdengar di telinga orang lain.
Bukan hanya itu, perempuan dilarang bersiul-siul, perempuan dilarang berbicara terlalu ekspresif, perempuan dilarang berbicara dengan nada suara yang keras. Bahkan, alat-alat tenunan perempuan tidak diperbolehkan berbunyi pada saat menenun.
Perempuan yang melanggar larangan-larangan tersebut dianggap memberikan kode khusus atau isyarat kepada laki-laki. Bahkan, perempuan tersebut dicap publik sebagai perempuan yang tak bermoral.
Larangan tersebut hanya untuk mencegah perempuan hamil di luar nikah. Bagi orang Dawan, resiko hamil dill luar nikah adalah memalukan karena kawin tidak sesuai dengan prosedur dan peluang laki-laki tak bertanggungjawab atas kehamilan perempuan lebih besar.
Ironisnya hanya perempuan yang mendapat didikan seperti ini sedangkan laki-laki memiliki kebebasan berekspresi. Hal ini penulis ibaratkan seperti sistem pertanian dan peternakan orang Dawan. Tanaman dilindungi dengan pagar sedangkan ternak dilepas yang sesekali dapat menembus pagar untuk merusak tanaman.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perempuan Dawan pada zaman dahulu ada di antara didikan dan intimidasi. Mau dibilang didikan juga tidak, mau dibilang intimidasi juga tidak. Kalau harus disebut sebagai didikan, seharusnya berlaku adil bagi laki-laki.
Salam!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H