Fadli Zon sependapat dengan AHY bahwa peningkatan iuran BPJS bukan hanya sebatas rakyat jatuh tertimpa tangga tetapi ...
Wacana kenaikan iuran BPJS telah direalisasikan oleh pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 yang akan berlaku mulai Juli 2020. Adapun tarif iuran BPJS Kesehatan untuk kelas mandiri antara lain Kelas I sebesar Rp 150 ribu per orang per bulan, Kelas II Rp 100 ribu, Kelas III Rp 25 ribu dan akan menjadi Rp 35 ribu pada 2021.[sumber]
Menurut kebanyakan orang, hal tersebut adalah sebuah ironi karena Mahkamah Agung (MA) telah menganulir sebuah keputusan identik yaitu Perpres 75 Tahun 2020 pada 27 Februari 2020.
Bukan hanya itu, keputusan pemerintah menaikkan iuran BPJS di tengah pandemi Covid-19 membuat banyak orang geram. Menurut Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono, kenaikan iuran BPJS ibarat "rakyat jatuh tertimpa tangga" sedangkan politisi Gerindra Fadli Zon pun mengatakan bahwa "rakyat jatuh tertimpa tangga digilas mobil".[sumber]
Kritik dari seorang politisi selalu politis dan kadang kala subjektif yang membuat kita sulit percaya. Oleh karena itu, tulisan ini akan membedah kritik tersebut. Apakah kritik kedua politisi ini mengandung unsur politik atau murni membela rakyat dan dapat diterima oleh akal sehat.
Saat ini, pandemi Covid-19 berhasil memukul lumpuh berbagai sektor terutama kehidupan ekonomi di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi diprediksi bisa turun 0,3%, hampir mendekati nol atau bahkan negatif growth di minus 2,6%. Salah satu faktornya adalah angka pengangguran.
PHK yang terjadi akibat Covid-19 menambah angka pengangguran di Indonesia. Sebelumnya menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2020, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) turun menjadi 4,99 persen dibandingkan Agustus 2019 sebesar 5,28 persen dan Agustus 2018 sebesar 5,34 persen atau terdapat 5 orang penganggur dari 100 orang angkatan kerja.
BPS juga mencatat angka setengah pengangguran dan pekerja separuh waktu. Terdapat jumlah setengah pengangguran turun menjadi 6,36 persen dibandingkan dengan Februari 2019 sebesar 7,37 persen dan Februari 2018 sebesar 7,64 persen. Sedangkan jumlah  pekerja paruh waktu naik menjadi 23,74 persen dibandingkan dengan Februari 2019 sebesar 22,67 persen.
Angka tersebut berpotensi bertambah secara drastis. Untuk sementara, Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan mencatat sekitar 2,8 juta pekerja yang terkena dampak langsung akibat Covid-19 yang terdiri PHK dan pekerja yang dirumahkan.[sumber]
Oleh karena itu, pemerintah memperkirakan angka pengangguran terbuka bertambah sebanyak 2,9 juta orang dalam skenario berat dan 5,2 juta orang dalam skenario sangat berat.
Akan tetapi, dilansir dari Kontan.id, Center of Reform on Economics (Core) Indonesia memperkirakan peningkatan jumlah TPT pada kuartal kedua tahun ini lebih berat dari prediksi pemerintah.
Angka pengangguran terbuka berpotensi mencapai 4,25 juta orang dengan skenario ringan, 6,68 juta orang dengan skenario sedang dan 9,35 juta orang dengan skenario berat.
Pengangguran yang terjadi di tengah pandemi ini juga berpotensi menyebabkan beberapa masalah sosial termasuk kemiskinan. Khususnya untuk angka kemiskinan, semakin tinggi angka pengangguran maka angka kemiskinan pun semakin tinggi dan sebaliknya.
The SMERU Research Institute dalam laporannya yang berjudul "The Impact of Covid-19 Outbreak on Poverty: An Estimation for Indonesia"Â mengemukakan bahwa pandemi Covid-19 berdampak terhadap peningkatan penduduk miskin di Indonesia. Betapa tidak, angka pengangguran terbuka semakin bertambah. [sumber]
Pada skenario terburuk, jika ekonomi tumbuh hanya 1 persen, maka tingkat kemiskinan Indonesia bisa mencapai 12,37 persen atau meningkat dari angka 9,22 persen per Agustus 2019. Bagaimana jika pertumbuhan ekonomi negatif growth? Bukan tidak mungkin, angka kemiskinan mengincar 20 persen.
Terlepas dari ketepatan prediksi dari pemerintah maupun prediksi dari berbagai instansi non-goverment, potensi bertambahnya angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia bukan sebuah rahasia. Bagaimanapun, saat ini angka pengangguran terus meningkat. Belum lagi, lulusan sekolah dan perguruan tinggi terus gencar di tengah pandemi.
Pandemi ini membuat masyarakat pasrah dan hanya berharap pada pemerintah. Mereka yang hidup sebagai buruh, modal kos atau kontrak tempat tinggal di perkotaan merintih. Sembako dan berbagai macam bantuan sosial disalurkan kepada masyarakat untuk bertahan hidup di masa pandemi.Â
Namun, pemerintah memilih meningkatkan iuran BPJS yang sejatinya menambah beban masyarakat. Mereka yang merupakan korban PHK dan masuk dalam kelompok kemiskinan, tidak memiliki modal selain bantuan sosial dari pemerintah untuk membayar iuran BPJS.
Memang Perpres tersebut akan berlaku mulai Juli 2020 tetapi akhir pandemi Covid-19 belum bisa dipastikan. Penanganan Covid-19 masih dikritik, sebagian masyarakat kita masih tidak mempedulikan aturan physical distancing dan sebagainya yang berhubungan dengan upaya pemutusan mata rantai Covid-19.
Seandainya, pandemi Covid-19 selesai pada akhir tahun seperti yang dikatakan oleh Presiden Joko Widodo maka rakyat benar-benar tertimpa tangga dan digilas mobil. Kritik AHY tidak mengada-ada tetapi berdasarkan realita yang terjadi.
Oleh karena itu, penunggakan iuran BPJS berpotensi terulang karena masyarakat tidak mampu mengelola keuangannya untuk membayar iuran BPJS.
Salam!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H