Pandemi Covid-19 saat ini membongkar sebuah pola aneh yang harus ditelusuri dengan beribu ratus model pertanyaan. Mungkinkah pola ini adalah identitas birokrasi di negeri ini?
Presiden Jokowi dan Menteri Sosial Juliari Batubara atasa nama pemerintah mengakui bahwa data penduduk miskin yang digunakan untuk menyalurkan dana dan bantuan sosial kepada masyarakat Indonesia benar-benar amburadul dan tumpang tindih.[1]
Di daerah saya, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), nama para pengusaha besar masuk dalam daftar penerima Bantuan Sosial Tunai (BST) sedangkan banyak masyarakat kurang mampu hanya menjadi penonton penyaluran bantuan yang bersumber dari APBN tersebut. [2]
Sedangkan khususnya di desa saya (salah satu desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan), oma saya yang sudah meninggal dunia pada tahun 2017 masih menghiasi daftar penerima bantuan sosial. Memang, Oma saya selama hidup adalah salah satu KK di desa saya tetapi setelah meninggal dunia, status KK-nya harus dihapus karena tidak ada lagi yang masuk dalam kartu keluarga oma saya.
Karena itu, saya mencoba mencari kasus serupa untuk memastikan bahwa apakah terdapat daerah yang memiliki kasus identik dengan daerah saya atau tidak. Rupanya, banyak daerah di Indonesia juga mengalami hal yang sama.
Kabupaten Banyumas Jawa Tengah sempat menahan panyaluran bantuan sosial virus corona (Covid-19) karena banyak keluarga kurang mampu yang tidak masuk dalam daftar penerima bantuan sedangkan ASN dan deretan keluarga yang mampu secara ekonomi masuk dalam daftar tersebut.[3]
Di Kabupaten Pasaman Barat Sumatera Barat, bantuan sosial juga dihentikan sementara karena terdapat oknum PNS dan orang yang meninggal dunia masuk dalam daftar penerima bantuan dari Kementrian Sosial ini. [4]
Di Kota Surabaya Jawa Timur dan Kebumen Jawa Tengah juga mengalami hal yang sama seperti di desa saya dimana orang yang dinyatakan sudah meninggal dunia masih masuk dalam daftar penerima bantuan sosial. [5][6]
Di Jakarta, seorang anggota DPRD DKI dari Fraksi PDIP, Johnny Simanjuntak yang bukan termasuk kategori penerima bansos, diketahui masuk sebagai penerima bansos untuk Kelurahan Lagoa, Koja, Jakarta Utara. [4]
Meskipun pemerintah mengakui bahwa amburadulnya data penerima bantuan sosial adalah sebuah kelalaian dan akan diperbaiki sehingga tidak perlu diributkan, bagi saya kasus amburadulnya data tersebut adalah sebuah hal yang ironis.
Oleh karena itu, berdasarkan kasus-kasus tersebut, saya mencoba mengurai ironi pengumpulan data yang terjadi di negeri ini.
Baru-baru ini, melalui kicauannya di twitter, Â salah satu nggota BPK RI periode 2019-2024, Achsanul Qosasi mengatakan bahwa data kemiskinan yang dipakai oleh pemerintah untuk memberikan bantuan sosial adalah data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) tahun 2014. [6]
Sementara berdasarkan data BPS tahun 2020, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sejak tahun 2015 dari 28,51 ke 24,79 persen pada tahun 2019. Â Khususnya sejak September 2018 hingga September 2019 jumlah penduduk miskin menurun sebesar 888,7 ribu.[6]
Belum lagi, selama lima tahun terakhir banyak pernikahan yang menambah jumlah Kepala Keluarga (KK) di Indonesia dimana berpotensi menciptakan KK baru berkategori miskin.
Menurut saya, orang awam sekalipun akan memikirkan kedua hal ini. Apakah ada penambahan dan pengurangan jumlah penduduk? Apakah ada penambahan jumlah KK? Apakah ada penambahan jumlah penduduk miskin?
Ini membuktikan bahwa selama ini pemerintah daerah yang bertugas melakukan pemuktahiran data setiap 6 enam bulan
masih berlipat tangan ditengah penderitaan rakyatnya. Betapa cueknya pemerintah, menganggap data kemiskinan adalah hal biasa.
Akibatnya, dalam kondisi seperti ini, pemerintah kalang kabut. Apa yang harus dilakukan? Melakukan pendataan, atau verifikasi data? Sedangkan ribuan penduduk sedang merintih. Pemerintah hendak menolong yang merintih tapi malah salah sasaran.
Jika kita hendak mengurai benang kusutnnya, kasus ini bertalian erat dengan pemberitaan media akhir-akhir ini yang menguak banyak penduduk miskin tidak pernah tersentuh bantuan pemerintah. Bagaimana pemerintah tahu tentang kondisi rakyatnya jika data tidak pernah diperbaharui?
Pandemi Covid-19 berhasil menguak betapa bobroknya birokrasi pengumpulan data di negeri ini. Kita tidak tahu, berapa banyak bantuan selama beberapa tahun terakhir menggunakan data yang lama? Kemanakah bantuan tersebut? Bagaimana pertanggungjawabannya?
Mari kita telusuri. Pandemi Covid-19 berhasil menguak betapa bobroknya birokrasi pengumpulan data di negeri ini.Â
Salam!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H