Lalu, bagaimana dengan citra milenial setelah mundurnya Belva dan Taufan? Apakah keputusan mengundurkan diri yang dilakukan oleh Belva dan Taufan sudah memperbaiki nama baik milenial?
Berbeda dengan milenial di negara maju, milenial di negara berkembang seperti Indonesia adalah sebuah optimisme atau sebuah harapan menatap masa depan negara. Bahwa, milenial bukan hanya tentang pekerjaan berbasis teknologi tetapi ada harapan dalam upaya pemberantasan korupsi.
Pemerintah menyadari hal tersebut sehingga pada pemerintahan kali ini, kaum milenial diberikan jam terbang khusus di bidang pemerintahan untuk mempersiapkan diri menguasai kabinet secara perlahan.
Staf Khusus presiden yang didominasi oleh kaum milenial dinilai sebagai batu loncatan menuju kursi kabinet suatu saat nanti. Dibalik hal tersebut ada harapan untuk memangkas birokrasi yang berbelit dan rumit serta memerangi praktek-praktek korupsi yang merugikan negara.
Belva dan Taufan mundur tapi meninggal bekas luka yang mestinya dihilangkan. Bagaimanapun luka yang membekas akan menyimpan memori dan kenangan pahit. Milenial yang sejatinya merupakan optimisme negara berkembang kini berubah menjadi sebuah pesimisme.
Staf Khusus adalah batu loncatan. Bukan menuju kabinet untuk memperbaiki birokrasi dan memerangi mafia-mafia di negeri ini tetapi menuju sebuah laba atau keuntungan yang diperoleh perusahaan mereka sendiri.
Publik bisa mengatakan bahwa mereka mundur tapi sudah mendapatkan jatah. Mengundurkan diri bukan sebuah problem, intinya perusahaan mereka sudah mengambil bagian dan mengambil keuntungan dalam program kerja pemerintah.
Oleh karena itu, menurut penulis keputusan mengundurkan diri yang dilakukan oleh Belva dan Taufan belum menjamin nama baik milenial di mata publik. Harapan itu sirna dan optimisme itu berubah jadi pesimisme. Kemanakah arah dan tujuan negara ini?
Salam!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H