Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengulas Status Bumi sebagai Tuhan dalam Sistem Kepercayaan Suku Dawan (Timor)

22 April 2020   18:21 Diperbarui: 24 April 2020   11:43 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang saya ulas dalam artikel ini, tidak bermaksud menyalahkan agama manapun atau mengkambinghitamkan salah satu agama sebagai penyebab ekploitasi alam di Pulau Timor secara liar. Tetapi, apa yang saya ulas merupakan cerita fakta yang dialami masyarakat Suku Dawan di Pulau Timor.

Beberapa mitologi dan budaya, bumi dilambangkan sebagai Dewa atau Dewi. Misalnya dalam Mitologi Arab, Dewi Allat dikaitkan dengan bumi sedangkan di Vietnam, Laos dan Kamboja, perempuan bernama Sowathara disebut sebagai simbol kesuburan bumi.

Mitologi memiliki peran penting dalam membentuk perspektif masyarakat terhadap bumi. Tingkah laku dan segala jenis tindakan manusia terbatas karena mitologi yang dianut menjadi margin sehingga potensi ekploitasi lingkungan diminimalisir sekecil mungkin.

Suku Dawan di Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) juga memiliki sistem religi atau agama tradisional yang menempatkan bumi pada posisi tertinggi yang layak disembah.

Tiga bulan yang lalu, penulis menulis artikel di Kompasiana tentang sistem kepercayaan Suku Dawan (Timor) yang percaya bahwa bumi adalah Dewi (Tuhan) yang terkenal dengan sebutan Uis Pah.

Berdasarkan tuturan orang tua Uis Pah dipercaya sebagai Allah Ibu (Ain Usi) atau Dewi Kesuburan yang yang mengatur, mengawasi, dan menjaga kehidupan alam semesta beserta isinya termasuk manusia.

Karena itu, masyarakat Suku Dawan sejatinya memahami dengan baik katarestik bumi dan cara memperlakukannya. Sebuah perlakuan atau tindakan manusia yang menyakiti atau tidak menghargai alam dipercayai membawa kutukan dan bencana bagi manusia.

Bumi mengendong dan menyusui manusia.
Manusia diidentikkan dengan bayi yang sedang menyusui sedangkan bumi sebagai ibu yang memberikan asupan ASI setiap saat kepada bayinya yang sedang berbaring di pangkuannya.

Mata air adalah air susu ibu dari bumi, tanah adalah daging dan batu adalah tulang. Manusia menghabiskan darah dan daging sang ibu (bumi) untuk bertahan hidup. Jika tulang dan daging bumi remuk maka manusia akan mati.

Filosofi inilah yang menjadi dasar Mama Aleta Baun, aktivis lingkungan hidup dari Timor memperjuangkan dan menyelamatkan ekploitasi batu marmer di pusat perairan pulau Timor (Mollo).

Filosofi ini kembali membakar semangat para perempuan Mollo untuk terus bersuara dengan cara menenun di area pertambangan untuk mengusir orang-orang yang berkepentingan dalam ekploitasi batu Marmer tersebut.

Perjuangan ini yang mengantarkan Mama Aleta Baun meraih Nobel Lingkungan Hidup di Amerika Serikat. Semuanya terjadi karena sistem kepercayaan Suku Dawan yang menempatkan bumi sebagai Allah Ibu.


Mama Aleta tidak berjuang dengan nuansa politis atau untuk kepentingan pribadi tetapi berjuang atas dasar kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Suku Dawan (Timor) bahwa bumi adalah Allah Ibu yang harus dijaga dan dirawat sebaik-baiknya.

Penulis menjelaskan hal ini sekaligus menjadi jawaban terhadap beberapa pertanyaan yang mempertanyakan perjuangan Mama Aleta Baun yang dianggap sangat politis bukan murni perjuangan untuk lingkungan hidup Pulau Timor secara khusus di Mollo.

Jika kita telusuri, ada hubungan erat antara sistem kepercayaan dan mata pencaharian Suku Dawan yang bergantung pada alam. Masyarakat Dawan menjadikan jagung sebagai makanan pokok yang ditanam setiap musim hujan dengan pertolongan Uis Pah.

Oleh karena itu, salah satu tradisi yang terkenal adalah ritual Fua Pah dimana masyarakat berkumpul memberikan persembahan kepada Uis Pah (Bumi) sebelum pembukaan lahan baru atau pembersihan kebun dilakukan untuk menanam jagung.

Biasanya Tuan Kampung dipercaya sebagai orang yang memiliki hubungan khusus dengan Uis Pah atau dalam istilah Agama Kristen dan Islam, Tuan Kampung adalah nabi yang menjadi perantara.

Tuan Kampung akan mengucapkan Natoni sejenis mantra sebagai dialog manusia dengan Uis Pah untuk melaksanakan ritual persembahan. Biasanya, ternak pilihan warna tertentu menjadi hewan persembahan sesuai dengan permintaan Uis Pah kepada Tuan Kampung.

Ritual ini dilaksanakan di hutan yang dikenal dengan sebutan Nu'af. Setiap kampung atau ketemukungan (saat ini diganti dengan desa) memiliki Nu'af yang dijadikan sebagai tempat pelaksanaan ritual Fua Pah.

Akan tetapi, setelah Agama Kristen menguasai seluruh Pulau Timor, keberadaan Nu'af tidak terlalu penting bagi masyarakat Suku Dawan sehingga tidak ada margin perlindungan hutan dan ekploitasi hutan secara liar terjadi dimana-mana bahkan rasanya hutan kehilangan magis.

Saat ini, Nu'af yang masih bertahan dan terkenal atau masih jauh dari sentuhan manusia adalah Nu'af Nefomnasi di pegunungan Mutis (Mollo) (bisa dilihat di google map).

Suatu hari, beberapa tahun lalu ketika kemarau berkepanjangan terjadi di Pulau Timor, beberapa orang tua di kampung saya mengatakan bahwa Uis Pah marah dan telah pergi karena tidak memiliki rumah, orang-orang juga tidak lagi memberikan persembahan atau melakukan ritual Fua Pah kepada Uis Pah.

Jadi, sebelum agama Kristen, Katholik dan Islam menguasai tanah Timor, masyarakat Suku Dawan menganut agama tradisional yang sangat menghargai bumi sebagai Tuhan atau Uis Pah yang menggendong, menyusui dan memberikan makanan bagi masyarakat Suku Dawan.

Boti adalah salah satu kampung kecil di pedalaman Timor Tengah Selatan yang masih menganut sistem kepercayaan tradisional ini. Tradisi Fua Pah masih menjadi kebiasaan mereka hingga saat ini.

Meski penulis tidak pernah melihat dengan mata kepala, beberapa cerita yang penulis dengar dari orang-orang yang sudah menginjakkan kaki dan bertatapan muka dengan Raja Boti mengatakan bahwa Hujan dan Panas di Boti terjadi sesuai dengan keinginan raja, apapun yang diinginkan raja akan terjadi pada saat itu pula.

Di Hari Bumi ini, penulis mengajak masyarakat Suku Dawan yang meskipun tidak lagi menganut sistem kepercayaan tradisional seperti Suku Boti agar menjaga dan melindungi alam sebagai ibu yang memberi kehidupan.

Salam!!!

Selamat Hari Bumi

Timor Tengah Selatan, 22 April 2020
Neno Anderias Salukh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun