Sebagai orang yang mencintai budaya, terpaksa menaati imbauan dari pemerintah untuk memutuskan mata rantai penyebaran virus corona meski beberapa budaya harus ditiadakan sementara.
Salah satu budaya kental masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terpaksa harus ditinggalkan sementara adalah budaya cium hidung.Â
Budaya cium hidung selalu dilakukan pada saat acara-acara seperti pernikahan, ulang tahun termasuk upacara kematian sebagai bentuk turut merasakan kebahagiaan dan kesedihan teman, kolega, saudara atau kerabat yang mengalami.
Pada umumnya, di beberapa budaya, pelukan sambil menepuk belakang atau cipika-cipiki merupakan ekspresi bertemu dengan teman, atau sahabat yang lama menghilang atau baru bertemu selama beberapa tahun, tapi di NTT, cium hidung adalah ekspresi yang sering dilakukan sebagai bentuk melepas rindu dengan orang tersebut.
Alasan meninggalkan budaya cium hidung adalah untuk mematuhi imbauan physical distancing yang menetapkan jarak satu meter sebagai jarak terdekat antar manusia. Dengan kata lain, selama pandemi corona kita dilarang bersentuhan satu sama yang lain.Â
Imbauan ini atas dasar penyebaran virus corona yang menyebar dari manusia ke manusia melalui percikan-percikan air liur, telapak tangan, dan sentuhan-sentuhan yang tak disengajakan.
Cium hidung dengan saling menempelkan hidung sangat rentan dengan penyebaran virus corona. Pasalnya, virus yang menyerang sistem pernapasan ini bukan tidak mungkin menempel di bagian hidung dan menyebar ke hidung orang lain dan dengan mudahnya menyerang sistem pernapasan.Â
Belum lagi, pada saat cium hidung, salah satu bersin, batuk atau berbicara.
Namun, cium hidung bukanlah satu-satunya budaya yang ditiadakan sementara. Budaya "Mamat" atau makan sirih pinang perlu dipertimbangkan untuk ditiadakan sementara juga. Penulis mencoba memikirkan ini dengan matang, apakah makan sirih pinang boleh ditiadakan?
Sebelum beranjak ke sana, penulis mencoba menjelaskan secara singkat tentang makna budaya makan sirih bagi Suku Dawan (Timor) di NTT.Â