Keringat yang keluar akibat melawan persepektif masyarakat dalam penanganan penyakit belum mengering, saya diperhadapkan lagi dengan sebuah persoalan yang baru.
Kemarin, saya dan teman-teman saya terlibat dalam sebuah percakapan dengan beberapa tokoh masyarakat mengenai penyebaran virus corona yang semakin meluas. Tiba-tiba, kami hening karena salah seorang warga ditelepon oleh temannya. pembicaraan mereka begitu cepat.
Rupanya, orang yang menelepon hanya melanjutkan informasi yang ia peroleh bahwa virus corona bisa beredar melalui air hujan sehingga ia berharap agar kebiasaan masyarakat menampung air hujan untuk keperluan sanitasi dan lain sebagainya harus dihentikan.
Salah seorang teman saya melihat ke arah saya sambil mengerutkan keningnya, pertanda bahwa kebenaran informasi tersebut harus diuji. Tanpa berpikir panjang, saya tak segan-segan untuk mengatakan bahwa informasi tersebut adalah hoax.
Lalu, saya mulai menjelaskan tentang hoax, perkembangannya dan tujuan orang menyebarkan hoax termasuk konsekuensi hukum yang harus diterima jika kita menjadi penyebar hoax.
Untuk menguatkan apa yang saya sampaikan, saya memberitahukan kepada mereka bahwa kami mengikuti dengan baik perkembangan virus corona dari awal hingga saat ini jadi kita hanya boleh patuh kepada anjuran pemerintah dan pihak kesehatan terkait dengan penanganan virus corona.
"Jika ada informasi terbaru atau jika informasi yang baru didapat benar maka kami bertanggungjawab untuk memberitahukan kepada semua masyarakat disini." Demikian pernyataan terakhir saya.
Sebagai seorang guru yang memiliki otoritas dalam menyampaikan hal-hal baru dan hal-hal yang benar, mereka benar-benar lebih memilih percaya kepada saya. Dalam hati, saya berkata "yes", hoaks ini tidak beredar lagi.
Saya menduga hoax tersebut berkembang dari hoax Singapura dan Malaysia akan menyemprotkan racun untuk membunuh virus corona. Hanya kabar yang beredar dari mulut ke mulut sehingga lebih mengerikan dari hoax yang sebenarnya.
Memang keutuhan sebuah informasi yang berkembang dari mulut ke mulut patut diragukan dan bila perlu diuji meskipun hal tersebut adalah kebenaran.
Oleh karena itu, saya berani menghentikan penyebaran informasi yang bagi saya salah meskipun orang yang menyampaikan adalah orang terdidik yang cukup disegani.
Beberapa hari yang lalu, di salah satu Group WhatsApp, beredar informasi yang berisi tips mendeteksi Covid-19 secara dini, katanya cara tersebut dilakukan oleh Jepang meskipun sumber informasinya kurang jelas. Seorang dokter yang juga merupakan anggota group langsung mengklarifikasi pesan tersebut bahwa informasi tersebut adalah hoaks.
Selang beberapa menit, informasi tersebut muncul lagi di salah satu group WhatsApp saya. Pesan tersebut dibagikan oleh seseorang yang saya segani sehingga untuk mengklarifikasi setiap pembicaraannya membutuhkan ekstra keberanian.
Namun, demi kepentingan orang banyak dan bermodalkan klarifikasi dari dokter pada grup sebelumnya, saya berani mengklarifikasi pesan tersebut dan klarifikasi saya diterima. Klarifikasi saya diterima karena orang tersebut adalah orang yang terdidik dan mau menerima informasi yang benar dari sumber yang tidak diragukan kebenarannya.
Berbeda dengan kehidupan kami di desa, rata-rata SDM masyarakat desa masih rendah sehingga cenderung percaya pada informasi terbaru apalagi informasi tersebut disampaikan oleh orang yang memiliki otoritas seperti kepala desa dan para jajarannya apalagi dari seorang guru.
Saya tidak dapat membayangkan bagaimana informasi tersebut disampaikan pada saat kami tidak ada bersama-sama dengan mereka? Berapa banyak orang yang akan terpapar hoax? Dan sampai mana hoax tersebut terhenti?
Karena itu, saya memanfaatkan otoritas saya sebagai seorang guru untuk menghentikan informasi-informasi yang menyesatkan masyarakat.
Salam!
Neno Anderias Salukh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H