Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tak Harus Menjadi Tenaga Medis untuk Mengedukasi Masyarakat tentang Kesehatan

21 Maret 2020   23:11 Diperbarui: 21 Maret 2020   23:45 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya dan dua orang teman saya foto bersama salah satu warga desa yang tempat tinggalnya cukup jauh dari perumahan desa | Dokpri

Kadang kala kami bergurau untuk berpindah profesi atau bersekolah lagi di bidang kesehatan, kalau bukan perawat cukup menjadi sarjana kesehatan masyarakat.

Melawan persepektif masyarakat pelosok terhadap penanganan penyakit bukan sekedar sosialisasi semata. Ini adalah sebuah konklusi yang saya buat sebagai salah satu anak yang lahir di pelosok dengan budaya dan persepektif demikian.

Beberapa tahun yang lalu, ketika saya masih kuliah, ada beberapa LSM kesehatan yang turun mengedukasi masyarakat di kampung saya tentang sanitasi, secara khusus kebiasaan cuci tangan secara rutin.

Bekerja sama dengan pemerintah, setiap rumah diwajibkan untuk memiliki tempat cuci tangan sederhana yang dibuat sendiri di depan rumah. Desainnya cukup unik, memanfaatkan jerigen yang tidak dibeli (dimiliki semua orang desa) sebagai tempat penampungan air, lalu digantungkan pada dua tiang.

Kemudian, sebuah tali diikat dan disambung dengan sepotong kayu yang diletakkan ditanah sehingga untuk mencuci tangan cukup menginjakkan kaki ke potongan kayu tersebut, posisi jerigen akan sedikit condong ke depan atau miring sehingga air yang didalam akan mengalir keluar melalui mulut jerigen.

Tujuannya, masyarakat membiasakan diri mencuci tangan sebelum makan, sesudah bekerja dan sebagainya. Lebih dari itu, diharapkan kebiasaan tersebut menjadi budaya baru bagi masyarakat pedesaan dalam menjalani pola hidup bersih.

Tiga bulan kemudian setelah penerapan program yang sangat bermanfaat itu, saya balik kampung karena kegiatan perkuliahan ditiadakan dalam beberapa waktu dalam rangka memperingati salah satu hari raya nasional (maaf saya lupa), saya kaget melihat tempat cuci tangan yang semulanya ditemui di setiap rumah, tidak satupun bertahan termasuk di rumah saya.

Meski kaget, saya tidak merasa aneh karena mencuci tangan bukan kebiasaan masyarakat di kampung saya. Kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan tidak masalah bagi masyarakat di kampung saya, lalu mengharapkan mereka mencuci tangan setelah bekerja dan sebagainya tentunya tidak mungkin terjadi kecuali mengerjakan sesuatu yang bagi mereka 'menjijikan'.

Tidak jauh berbeda pola pikir dan kebiasaan masyarakat di desa tempat saya mengabdi sebagai seorang guru dengan kampung saya. Awalnya saya tidak terlalu sibuk untuk mengedukasi mereka tentang pola hidup bersih toh jika kita menghitung peluang hidup mereka dengan orang-orang di kota yang sudah menjadikan pola hidup bersih ibarat nafas hidup mereka, orang-orang di kampung memiliki peluang hidup yang cukup lama juga bahkan beberapa diantaranya memiliki umur yang lebih panjang.

Namun, ketika pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menetapkan wabah Demam Berdarah Dengue (DBD) sebagai Kasus Luar Biasa (KLB) dan lampu kuning kepada masyarakat dalam mengkonsumsi daging hewan karena virus ASF serta pandemik Covid-19 di Indonesia memaksa saya bertindak layaknya seorang tenaga medis.

Untuk mengisi waktu luang, bersama beberapa teman saya, selain membeli minyak telon untuk menggosok ke anggota tubuh anak-anak usia sekolah yang hari-hari bermain di sekitar tempat tinggal kami yang juga sarang nyamuk (maklum letak rumah kami tidak jauh dari hutan), kami juga membagi beberapa bungkus autan kepada orang tua untuk menggosok ke wajah anak-anaknya pada malam hari.

Tujuan kami setidaknya melindungi mereka dari gigitan nyamuk penyebab DBD pada pukul 09-10 am dan nyamuk penyebab malaria pada malam hari (koreksi kalau saya salah).

Sebelum kami membeli bahan-bahan tersebut terjadi perdebatan antara saya dan teman-teman saya tentang hal ini, pemberian ini seolah-olah kami memanjakan mereka untuk bergantung kepada kami dan mereka tidak akan berusaha.

Program ini hampir saja tidak terealisasi karena beberapa warga kampung bercerita bahwa banyak masyarakat yang menjual kelambu (pelindung tempat tidur dari nyamuk) yang dibagikan secara gratis oleh pihak kesehatan.

Akan tetapi, setelah berpikir tujuh keliling kami melakukan semampu apa yang kami lakukan dengan batasan pemahaman bahwa kami bukan 'hero' yang bisa menyediakan segala sesuatu dengan memberikan edukasi tentang penggunaan bahan-bahan tersebut bisa didapatkan di beberapa tempat dengan harga terjangkau. Mengapa harus digunakan? Seberapa besar pengaruhnya dan sebagainya.

Sambil menjelaskan tentang pentingnya menerapkan pola hidup sehat agar terhindar dari ancaman DBD yang merupakan salah satu masalah serius di NTT. Juga tak kalah penting, kami terus berjuang merubah pola pikir mereka tentang penanganan berbagai macam penyakit yang kerap kali tidak mengandalkan Puskesmas dan Rumah Sakit.

Di sela-sela itu, kami juga memberitahukan kepada mereka bahwa terdapat sebuah virus yang menyerang ternak babi dan cukup berbahaya bagi kesehatan manusia sehingga untuk sementara waktu, konsumsi daging ternak yang rentan terhadap penyakit tersebut dihentikan untuk sementara waktu.

Disamping itu, ancaman Covid-19 ini juga memaksa kami meninggalkan zona nyaman kami yang kadang kala lalai atau lupa mencuci tangan sebelum makan. Ini juga penting dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya mencuci tangan, setidaknya apa yang kami bicarakan merupakan hal yang kami buat.

Jujur, mungkin kami adalah orang yang paling update tentang Covid-19 sehingga kami merasa bahwa mencuci tangan adalah kebiasaan yang harus dilakukan secara rutin oleh semua orang saat ini tanpa terkecuali sedangkan masyarakat yang sulit mengakses informasi menganggap hal tersebut tidak terlalu penting.

Kami memaklumi hal tersebut karena latar belakang pendidikan dan kondisi daerah geografis yang mendukung mereka hidup dalam sebuah keterbatasan mengakses informasi sehingga kami bertindak sebagai jembatan informasi yang meski tidak efektif setidaknya memberikan kesadaran tentang ancaman Covid-19.

Ketika masyarakat di kota sudah gencar menjaga kebersihan dengan mencuci tangan secara terus menerus, di desa kami masih bergulat dengan kebiasaan tidak mencuci tangan. Kami hanya mampu memberikan penjelasan tetapi tidak mampu merubah mereka dalam sekejap.

Kadang kala saya dengan teman-teman saya merasa gerah karena merasa tidak mampu merubah pola pikir mereka, apalagi kebiasaan mereka sehari-hari di rumah dan kondisi lingkungan serta rumah mereka yang menggambarkan betapa sulitnya menerapkan pola hidup bersih.

Kami juga kadang merasa lucu karena sering bergurau bahwa seharusnya kami tidak bersekolah guru, seharusnya kami bersekolah perawat atau setidaknya belajar ilmu kesehatan masyarakat karena dalam beberapa hari terakhir kami bertindak layaknya seorang promotor kesehatan desa.

Namun, bagaimanapun itu, seperti judul tulisan ini, tak harus menjadi tenaga medis untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menerapkan pola hidup bersih dan menjaga kesehatan tubuh.

Salam!!!

Dari pejuang kemanusiaan
Neno Anderias Salukh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun