Dengan adanya gelombang penolakan terhadap Omnibus Law dan status Indonesia sebagai negara maju, pemerintah tidak boleh berpangku tangan tetapi harus cepat bertindak.
Office of the US Trade Representative (USTR) Amerika Serikat (AS) mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang (Developing and Least-Developed Countries)Â merupakan pukulan keras kepada pemerintah untuk tidak lagi berpangku tangan dalam mengatasi segala persoalan pelik di Indonesia.
Jika harus subjektif, 1001 cara harus dipersiapkan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk menjalani status negara maju dengan kebijakan ekonomi internasional yang sedikit 'memberatkan'.
Salah satu dari sekian banyak anak tangga untuk unjuk gigi di dunia internasional sebagai negara maju adalah regulasi yang berkaitan dengan perekonomian. Jika regulasi yang dibuat oleh pemerintah dipikirkan dan dibahas dengan matang maka negara akan mampu beradaptasi dengan segala kebijakan ekonomi internasional termasuk fenomena-fenomena lain yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, Omnibus Law disebut sebagai regulasi penting bagi bangsa Indonesia untuk menghadapi perubahan status dari negara berkembang ke negara maju.
Omnibus Law pun disebut tidak hanya menyelesaikan masalah regulasi yang tumpang tindih tetapi diharapkan menciptakan atmosfir baru di bidang ketenagakerjaan, investasi, pemberdayaan UMKM dan kemudahan berusaha yang sejatinya memiliki pengaruh besar dalam pertumbuhan ekonomi.
Namun, yang menjadi polemik saat ini adalah beberapa pasal diduga sebagai pasal yang tidak ramah bagi pekerja atau buruh tetapi ramah kepada investor atau kapitalis. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Litbang Kompas, ketenagakerjaan dan investasi menjadi perhatian utama publik dalam Omnibus Law, diikuti oleh sektor lingkungan, pemberdayaan UMKM dan kemudahan berusaha dan lainnya.
![Pilihan responden terkait sejumlah isu yang terkait dengan UU ketenagakerjaan dan Omnibus Law | IG Kompas Data](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/02/26/img-20200226-223050-5e5693f1d541df06637d3b52.jpg?t=o&v=770)
Hanya pasal perizinan Tenaga Kerja Asing yang mendapat dukungan lebih banyak dari publik. Dalam UU ketenagakerjaan, Tenaga Kerja Asing diizinkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk sedangkan dalam Omnibus Law Cipta Kerja, Tenaga Kerja Asing wajib memiliki izin dari pemerintah pusat.
Masih dari studi yang sama, 65,1 persen masyarakat belum dilibatkan dalam perancangan Omnibus Law, 25,6 persen tidak tahu tentang Omnibus Law dan sisanya tahu. Menariknya, responden yang setuju bahwa Omnibus Law menguntungkan tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan mereka yang mengatakan bahwa Omnibus Law tidak menguntungkan.
![Pelibatan publik terhadap pembentukan Omnibus Law | IG Kompas Data](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/02/26/img-20200226-223020-5e56946ed541df7b352027d2.jpg?t=o&v=770)
Sejatinya, Omnibus Law menguntungkan tenaga kerja dan juga investor hanya saja belum ada ruang diskusi yang dibuka oleh pemerintah untuk membahasnya bersama sehingga publik dan masyarakat awam cenderung skeptis dengan regulasi penting ini.
Oleh karena itu, pemerintah harus konsisten dengan janjinya bahwa akan membuka ruang diskusi di beberapa kota untuk menerima saran dan kritik terhadap rancangan Omnibus Law. Harus menimbang dan mempertimbangkan segala bentuk usulan dengan matang. Ibarat pepatah, yang manis jangan cepat ditelan, yang pahit jangan cepat dibuang.
Artinya, selain mendapatkan hasil diskusi yang berkualitas, pemerintah tidak terburu-buru dalam penyusunan dan pembahasan Omnibus Law tetapi juga tidak terlalu lamban dalam pembentukannya.Â
Pemerintahan harus melangkah dengan penuh kehati-hatian karena regulasi yang salah dalam Omnibus Law khususnya Cipta Kerja dapat mengancam eksistensi angkatan kerja usia produktif yang sejatinya menjadi modal bagi Indonesia sebagai negara maju (baca disini).
Jika regulasi tidak memihak kepada ketenagakerjaan maka sangat mungkin dependency rasio Indonesia menurun dan kita akan menyaksikan bagaimana Indonesia kesulitan untuk menekan angka kemiskinan ditengah kebijakan ekonomi internasional yang semakin tidak bersahabat.
Salam!!!
Neno Anderias Salukh
Referensi: Katadata.com, Instagram Kompadata (Litbang Kompas)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI