Apa modal Indonesia untuk menghadapi status negara maju?
Kebijakan Amerika Serikat (AS) mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang (Developing and Least-Developed Countries) yang bersifat permanen ini menjadi topik hangat di media saat ini. Tak sedikit orang yang menganggap kebijakan ini sebagai awal mula perang dagang yang harus diwaspadai dan diantisipasi.
Juga, banyak dampak negatif yang harus dihadapi oleh Indonesia di sektor ekonomi. Akan tetapi, seperti kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Indonesia tidak perlu kuatir dengan status negara maju yang sedang disandang oleh Indonesia.
Lalu, apa yang sejatinya menjadi modal Indonesia untuk tidak kuatir dan siap menghadapi kebijakan ini?
Modal Indonesia untuk menghadapi negara maju adalah letak geografis, sumber daya alam. Letak geografis Indonesia yang memiliki wilayah laut dan darat yang cukup besar dan seimbang dengan sumber daya alam yang melimpah dari Sabang sampai Merauke menjadi kekuatan tersendiri untuk tidak berharap belas kasihan dari negara-negara maju.
Akan tetapi, melimpahnya sumber daya alam tidak akan memberikan dampak yang positif terhadap perekonomian jika jumlah penduduk yang berusia produktif lebih sedikit atau mengalami tren penurunan.Â
Karena penduduk yang memiliki komposisi usia produktif memiliki pengaruh besar untuk menciptakan dinamisme dalam perekonomian dan sosial dibandingkan dengan jumlah penduduk usia tak produktif.
Indonesia sepatutnya bersyukur karena berdasarkan data Sensus Penduduk Antar Sensus (Supas 2015) jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 269,6 juta jiwa pada tahun ini (2020). Jumlah tersebut terdiri atas kategori usia belum produkftif (0-14 tahun) sebanyak 66,07 juta jiwa, usia produktif (15-64 tahun) 185,34 juta jiwa, dan usia sudah tidak produktif (65+ tahun) 18,2 juta jiwa.
Jumlah penduduk kategori usia produktif lebih dari setengah populasi atau 68,75 persen dari populasi. Jumlah ini diproyeksikan akan terus bertambah hingga tahun 2045 dengan total jumlah penduduk sebanyak 318,96 juta.
Artinya, Indonesia akan mengalami masa bonus demografi dari sekarang hingga 2045, dimana jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan penduduk tidak produkif (belum produktif dan sudah tidak produktif).
Tentunya dengan adanya bonus demografi ini, hendaknya dapat dimanfaatkan dengan baik bukan hanya untuk menghadapi era industri 4.0 tetapi juga untuk menghadapi status negara maju yang memiliki tantangan besar disetiap kebijakan ekonomi di dunia internasional.
Akan tetapi, angka pengangguran dari usia produktif yang masih tinggi menjadi pekerjaan rumah yang semestinya diselesaikan oleh pemerintah. Data terakhir yang dirilis dalam publikasi Data Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2019 oleh BPS, persentase pengangguran di usia produktif sebesar 18,62 persen atau sebesar 7,05 juta penduduk lebih tinggi dari usia belum produktif dan tidak produktif.
Meski demikian, kita semestinya bersyukur karena Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mengalami tren penurunan sejak tahun 2015. Secara khusus untuk pengangguran usia produktif menurun dari 22,53 persen menjadi 18,62 persen atau menurun sebesar 3.97 persen.
Penyebab angka pengangguran yang masih tinggi dan belum mengalami penurunan secara signifikan adalah kualitas yang dimiliki oleh penduduk usia produktif dan juga ketersediaan lapangan pekerjaan. Hal ini diungkapkan oleh peneliti LIPI, Tri Nuke Pudjiastuti bahwa kualitas tenaga kerja Indonesia masih relatif rendah dan kalah saing dari tenaga kerja dari luar negeri.
Oleh karena itu, untuk menyelesaikan masalah tersebut, pemerintahan Jokowi-Ma'ruf harus cepat merealisasikan kartu pra-kerja agar meningkatkan kualitas dan kemampuan angkatan kerja dan juga menambah lapangan pekerjaan sehingga angka pengangguran dapat ditekan sebesar mungkin.
Penulis optimis, jika bonus demografi dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah maka akan menjawab masalah-masalah seperti pendapatan perkapita dan kemiskinan di Indonesia yang penulis sajikan dalam artikel sebelumnya (baca disini).
Lagipula, dengan jumlah penduduk usia produktif yang lebih besar tanpa pengangguran maka angka ketergantungan penduduk (dependency ratio) Indonesia pun akan semakin menurun.
Salam!!!
Neno Anderias Salukh
Referensi:Â Katadata.com, Lipi.go.id, dan Badan Pusat Statistik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H