Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyoal Istilah "Pelakor" yang Disematkan kepada Perempuan

5 Februari 2020   13:04 Diperbarui: 5 Februari 2020   16:46 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi merdeka.com

Istilah Pelakor selalu menjadi buah bibir masyarakat. Tidak sedikit orang bangga menyebut istilah ini.

Hari ini saya membaca salah satu berita di Tribunnews Kupang (Pos Kupang) tentang kasus perselingkuhan. Diduga seorang bidan yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) merebut suami orang di Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Masih dari media yang sama, bidan tersebut akan dikenakan sanksi paling ringan penurunan pangkat selama tiga tahun atau sanksi paling berat dipecat dari statusnya sebagai ASN.

Kasus ini terkuak setelah istri laki-laki tersebut mengunggah foto bidan tersebut di salah satu group facebook dan menyebutnya sebagai seorang Pelakor.

Istilah Pelakor selalu booming di media sosial. Pertama kali saya mengetahui istilah ini dari salah satu status facebook teman saya. Kemudian saya mendengar istilah ini dari beberapa teman saya. Awalnya saya tidak menanyakan artinya karena saya pikir kata tersebut adalah istilah baru dalam kamus bahasa Indonesia.

Akan tetapi, setelah mencari tahu, saya tidak menemukan kata Pelakor. Kata yang paling mirip adalah Pelakon. Akhirnya saya memutuskan untuk bertanya kepada teman-teman saya.

Pelakor adalah singkatan dari Perebut Laki Orang atau Perebut Suami Orang. Pelakor disematkan kepada perempuan yang statusnya sebagai selingkuhan seorang laki-laki yang memiliki istri sah. Perempuan (selingkuhan) dinilai merebut atau mengambil secara paksa suami orang lain yang sudah sah secara agama dan hukum.

Artinya bahwa suami orang diibaratkan seperti barang atau benda mati yang tidak melakukan reaksi apapun, tiba-tiba direbut atau diambil secara paksa oleh orang lain dari pemiliknya.

Perempuan (selingkuhan) dianggap bersalah karena sudah tau laki-laki memiliki istri tetapi ia masih ingin menjalin cinta dengannya bahkan bersedia menjadi istrinya. Bagi saya, hal ini merupakan upaya mendiskreditkan perempuan dan membenarkan laki-laki beristri tersebut.

Jika kita telusuri, tidak serta-merta hubungan perselingkuhan tersebut terjadi jika tidak ada niat selingkuh dari laki-laki tersebut. Budaya kita mendukung, segala sesuatu tentang hubungan percintaan diinisiasi oleh laki-laki.

Kita tidak tahu, apakah perempuan (selingkuhan) adalah korban yang ditipu? Bisa saja, si laki-laki mengaku sebagai seorang bujangan dan wajar bagi seorang perempuan untuk menjalin hubungan dengan laki-laki bujangan.

Istilah Pelakor adalah sebuah istilah yang sangat ironi? Tidak adanya kesesuaian antara istilah dan kenyataan sesungguhnya yang menjadi dasar problem ini.

Budaya patriarki masih dipraktekkan, perempuan yang berstatus sebagai korban masih disudutkan, dicaci dan dihina tanpa melihat esensi-esensi yang patut dipertimbangkan dalam hubungan tersebut.

Pada umumnya, masalah ini merugikan perempuan. jika laki-laki (suami) hanya ingin berselingkuh semata dan tidak ingin menikahi selingkuhanya maka perempuan yang diselingkuhi dirugikan secara materil bahkan moril sehingga dipandang buruk oleh lingkungan sekitar karena menjadi tempat pelampiasan nafsu seksual laki-laki beristri yang tidak bertanggung jawab.

Perempuan (selingkuhan) sudah dirugikan tapi masih saja disebut sebagai Pelakor seolah-olah sebagai Pelakon yang memainkan ini semua padahal seharusnya label "perebut" harusnya disematkan pada laki-laki yang sudah memiliki istri tapi masih menginginkan orang lain.

Laki-laki itu merebut milik atau jodoh orang lain. Memang jodohnya belum pasti tetapi ia akan menjadi jodoh orang lain bukan menjadi selingkuhan laki-laki beristri.

Laki-laki beristri itu Pelakon. Menjadi tokoh utama dalam kasus-kasus seperti yang terjadi di Kabupaten Timor Tengah Utara ini, bahwa dialah yang menginisiasi bukan perempuan (selingkuhan) tersebut.

Oleh karena itu, bagi saya istilah Pelakor adalah istilah patriarki yang seharusnya tidak ada karena perselingkuhan tidak selamanya diinisiasi oleh perempuan. Ada hal-hal mendasar yang perlu diketahui bersama bahwa sejatinya yang berasalah adalah laki-laki bukan perempuan.

Salam!!!

Neno Anderias Salukh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun