Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sakralnya "Bertunangan" bagi Suku Dawan (Timor)

1 Februari 2020   06:50 Diperbarui: 1 Februari 2020   09:16 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cincin tunangan (Foto: Readers Digest)

Sakral, bagi Suku Dawan (Timor) bukan hanya tentang pernikahan tetapi juga pertunangan.

Pertunangan bukan sebuah hal yang asing bagi semua orang, baik yang mudah maupun tua. Mereka yang sudah tua, pasti sudah melewati masa tersebut, meskipun pada kasus-kasus tertentu, masa tersebut tidak dilewati oleh beberapa pasangan suami-istri. Sedangkan yang masih muda, tentunya akan tahu tentang pertunangan jika ia memiliki rencana untuk menikah.

Pertunangan merupakan sebuah masa peralihan antara lamaran dengan pernikahan. Saat seorang perempuan yang menerima lamaran seorang laki-laki, saat itu pula perempuan dan laki-laki tersebut sudah bertunangan.

Biasanya dalam pertunangan terdapat tradisi yang membuktikan bahwa ada ikatan yang terjadi pada seorang perempuan dan seorang laki-laki. Meski sebagai simbolis, tradisi ini menciptakan dan memperkuat sebuah ikatan batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.

Tradisi pertunangan setiap suku, agama, dan lain sebagainya memiliki perbedaan. Di India Barat pasangan itu saling tukar anak angsa, sedangkan di Tiongkok, khususnya pada awal abad ke-20 perempuan dituntut memberikan hadiah yang pas bagi calon suaminya dalam waktu seminggu setelah lamaran atau baru seminggu bertunangan, jika tidak, pertunangan mereka akan berakhir sebelum memasuki pelaminan.

Di Indonesia, pada umumnya pertunangan identik dengan tukar cincin antara perempuan dan laki-laki. Karena itu, banyak orang yang lebih akrab menyebut proses lamaran dengan tukar cincin.

Khususnya Suku Dawan (Timor), pertunangan bukan hanya ditandai dengan cincin tetapi juga ditandai dengan makan sirih pinang oleh kedua orang tua (laki-laki dan perempuan). Karena itu, pertunangan di masyarakat Suku Dawan lebih akrab dengan sebutan Mam dalam bahasa Dawan yang berasal dari kata Mamat (makan sirih pinang).

Bagaimana jika selama masa pertunangan, seorang laki-laki memilih mengakhiri hubungannya dengan perempuan tersebut? Atau mungkin laki-laki tersebut salah melangkah dan menikahi perempuan lain sementara ia bertunangan dengan seorang perempuan yang lain? Dan sebaliknya?

Saya tidak tahu apa yang harus dilakukan oleh suku-suku yang lain. Akan tetapi, khususnya Suku Dawan memiliki tradisi untuk mengakhiri proses pertunangan tersebut. Biasanya, tradisi ini wajib dilakukan oleh pihak laki-laki dan perempuan. Tradisi tersebut dinamakan "Kaus Bunu-Hauno".

Rupanya, tradisi tersebut tidak hanya dilakukan pada saat terdapat masalah-masalah seperti yang saya sebutkan di atas, tetapi wajib dilakukan menjelang pernikahan atau salah satu syarat penting sebelum pernikahan. Jika tidak dilakukan maka pernikahan pun tidak dilakukan.

Kaus Bunu-Hauno ini terdiri dari tiga kata yaitu Kaus yang berarti Mencopot, Bunu bisa disebut Bunuk berarti sejenis guna-guna yang digunakan untuk melindungi tanaman perkebunan dan Hauno berarti Daun-daunan.

Di artikel saya sebelumnya yang berjudul Cara Suku Dawan (Timor) Melindungi Tanamannya dari Pencurian, saya menceritakan tentang Bunu atau Bunuk yang merupakan salah satu cara melindungi tanaman.

Bunu adalah sesuatu yang diikatkan kepada tanaman, berupa daun (Hauno) dan lain sebagainya. Pada saat tanaman tersebut diikatkan Bunu maka hasil tanaman tersebut tidak boleh diambil oleh seorang pun bahkan disentuh pun tidak, termasuk pemiliknya. Konsekuensinya cukup berat, mengalami sakit penyakit dan kematian pun bukan hal yang mustahil.

Hasil tanaman tersebut boleh diambil jika Bunu tersebut sudah dicopot dan melalui sebuah proses yang dinamakan Haniki (pendinginan), menjinakkan kekuatan guna-guna yang ada dalam Bunu tersebut.

Sedangkan istilah Hauno adalah sinonim dari kata Bunu. Istilah ini digunakan atas dasar bahan yang paling banyak digunakan dalam Bunu adalah daun-daunan. Penyebutan sebuah istilah bersamaan dengan sinonimnya merupakan penyebutan khas orang Dawan dalam bahasa-bahasa adat.

Bunu-Hauno dianggap sudah terpasang pada laki-laki dan perempuan ketika mereka memutuskan untuk bertunangan. Secara tidak langsung, Bunu-Hauno bermakna perlindungan yang tidak boleh disentuh oleh siapapun, apalagi diambil. Oleh karena itu, Kaus Bunu-Hauno berarti mencopot proteksi yang terpasang pada laki-laki dan perempuan.

Selama masa pertunangan, dilarang bagi siapapun yang hendak bertunangan dengan perempuan dan laki-laki yang memiliki status tunangan. Istilah Bunu-Hauno adalah peringatan bahwa konsekuensinya cukup memberatkan.

Bahkan makna Bunu-Hauno yang terpasang pada laki-laki dan perempuan ini disebut tidak sebatas itu. Laki-laki dan perempuan yang sedang bertunangan pun dilarang "bersentuhan" sekalipun. Artinya laki-laki dan perempuan harus tahu batasan sebelum menuju pernikahan karena diri mereka dilindungi untuk tidak melakukan hal-hal yang sejatinya hanya bisa dilakukan setelah pernikahan.

Karena itu, tradisi Kaus Bunu-Hauno ini harus dilakukan sebelum acara pernikahan dijalankan. Bagi, masyarakat Dawan jika tidak dilakukan Kaus Bunu-Hauno maka jalan menuju pernikahan tertutup sebagaimana makna Bunu-Hauno pada tanaman. Tidak ada yang mengambilnya sebelum Bunu-Hauno dicopot atau melalui proses Haniki.

Untuk kasus salah satu dari antara perempuan atau laki-laki yang memilih memutuskan atau mengakhiri hubungan pertunangan (batal menikah), tradisi Kaus Bunu-Hauno harus dilakukan. Tujuannya adalah tidak ada ikatan atau kekuatan Bunu dalam diri seorang perempuan atau laki-laki sehingga ia boleh memilih bertunangan dengan orang lain, sbagaimana filosofinya bahwa pada saat mencopot Bunu dari tanaman, tidak ada larangan untuk mengambilnya.

Membebaskan diri dari ikatan tunangan dan diperbolehkan memulai tunangan yang baru dengan orang lain.

Itulah sakralnya bertunangan dengan laki-laki atau perempuan Suku Dawan di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Meski demikian, seiring berjalannya waktu, makna Bunu-Hauno yang sakral itu tergerus oleh zaman.

Salam!!!

Mauleum, 01 Februari 2020
Neno Anderias Salukh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun