Kemudian salah satu ujung bambu dilubangi dengan linggis yang akan berfungsi sebagai mulut wadah (Luli). Besarnya disesuaikan dengan diameter bambu. Penutupnya menggunakan daun-daun atau sabut kelapa.
Lalu sambungan ruas di antara pangkal dengan mulut Luli dilubangi dengan menggunakan linggis. Agar lebih rapi, sambungan ruas bagian dalam harus dipastikan dilubangi dengan baik dan hampir rata dengan diameter bambu.
Penggunaannya memang rumit, Luli yang sudah terisi dengan air dipikul di salah satu bahu dengan kemiringan tertentu. Hal ini sangat penting agar air yang ada tidak merembes keluar melalui tutupan yang hanya menggunakan daun-daun atau sabut kelapa.
Ibu saya pernah bercerita bahwa pada zaman kerja rodi, para orang tua dari Suku Dawan membawa Luli dengan air yang sudah diisi dengan tongkol jagung atau likaf (dalam bahasa Dawan). Saat mereka hendak minum, tongkol jagung dikeluarkan dan dihisap. Tujuannya adalah mencegah pemborosan air karena tidak akan diizinkan oleh pihak Belanda untuk mengambil air minum pengganti.
Saat ini, hanya satu-satunya desa yang menggunakan Luli sebagai tempat penyimpanan air minum adalah Desa Boti (Bagian Suku Dawan yang belum tersentuh dengan modernisasi). Saya lebih memilih menyebut Desa Boti bukan Suku Boti karena Boti merupakan bagian dari Suku Dawan, khususnya Sub Suku Amanuban. Kehidupan sehari-hari orang Boti adalah pelestarian kehidupan sehari-hari orang Dawan yang hampir punah.
Luli adalah salah satu peralatan teknologi tradisional yang seharusnya dilestarikan dan mungkin dimodifikasi. Bukan hanya menjadi Luli tetapi menjadi botol-botol air minum berukuran mini dan gelas-gelas miniatur yang menarik, sekaligus mengurangi penggunaan plastik yang berlebihan.
Salam!!!
Mauleum, 31 Januari 2020
Neno Anderias Salukh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H