Ume Kbubu memiliki makna yang cukup luas. Pada salah satu artikel saya sebelumnya, saya mengulas status perempuan sebagai ibu bagi kehidupan berdasarkan perannya dalam rumah bulat sedangkan di artikel lainnya saya mengulas fungsi Ume Kbubu sebagai Rumah Sakit Ibu dan Anak.
Ume Kbubu adalah salah satu hasil arsitektur tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Suku Dawan di Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Ume Kbubu masih eksis hingga saat ini, paling banyak ditemukan di pedalaman Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Sebagian dapat ditemukan di daerah Kabupaten Malaka.
Ume Kbubu terdiri dari dua kata yaitu "Ume" dan "Kbubu". Ume berarti Rumah dan Kbubu berarti Bulat. Secara harafiah, Ume Kbubu berarti Rumah Bulat. Akan tetapi, bentuk Ume Kbubu menyerupai kerucut hanya saja masyarakat Suku Dawan menganggap bentuk kerucut seperti oval (tergantung konteks dan apa yang dibicarakan).
Rupanya, penyebutan ini berdasarkan alas kerucut yang berbentuk lingkaran (bulat). Alas rumah bulat ditandai dengan susunan batu yang menyerupai lingkaran atau yang disebut sebagai Baki atau fondasi. Batu-batu tersebut juga berfungsi menahan dan membelokan aliran air hujan dari atap maupun banjir yang mengalir menunju rumah.
Sedangkan atap Ume Kbubu adalah selimut kerucut yang terbuat dari alang-alang. Alang-alang dipisahkan perikat sebesar pergelangan tangan lalu diikatkan pada rangka yang sudah dibuat. Alang-alang diikat sekuat dan serapat mungkin untuk mencegah air hujan masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumah bulat terdapat empat tiang utama penyangga rumah kemudian tiang-tiang kecil yang mengikuti lingkaran batu. Ini berfungsi untuk menahan kayu-kayu lata dan juga memudahkan pembuatan dinding.
Biasanya dinding rumah bulat dibuat setinggi satu meter dan bahan utamanya adalah bambu atau betung yang dipecah-pecah lalu diapit dengan kayu bulat yang sedikit lentur lalu diikat pada tiang. Dinding didirikan di atas batu atau fondasi Ume Kbubu. Dinding tidak dapat dilihat dari luar karena ditutupi oleh atap Ume Kbubu yang menyentuh tanah, hanya bisa dilihat dari dalam rumah.
Bagian titik puncak kerucut berbentuk bulat atau lebih sering disebut sebagai "Tobe". Selain agar tidak mudah terlepas bagian ini diikat lebih kuat agar mencegah air hujan yang merembes masuk. Biasanya, bagian ini paling sulit dikerjakan dan hanya bisa dikerjakan oleh orang-orang yang profesional.
Ume Kbubu pun hanya memiliki satu pintu yang disebut dengan Eno atau Nesu dengan ketinggian kira-kira satu meter setinggi dinding. Ada pintu yang dibuat sedikit menonjol ke depan dan lainnya tetap mengikuti bentuk rumah.
Ume Kbubu Sebagai Simbol Harga Diri Perempuan
Ume Kbubu memiliki makna yang cukup luas. Pada salah satu artikel saya sebelumnya, saya mengulas status perempuan sebagai ibu bagi kehidupan berdasarkan perannya dalam rumah bulat sedangkan di artikel lainnya saya mengulas fungsi Ume Kbubu sebagai Rumah Sakit Ibu dan Anak.
Khususnya, pada bagian ini saya menuliskan makna Ume Kbubu sebagai simbol harga diri perempuan Suku Dawan di Pulau Timor. Karena itu, deskripsi rumah bulat yang saya sajikan di atas terbatas pada makna yang saya bahas.
Dalam filosofi Suku Dawan, Ume Kbubu melambangkan perempuan Dawan sebagai sosok yang punya sopan santun, merendah, bersahaja, dan auratnya tertutup sebagaimana bagian atap Ume Kbubu dari bubungan sampai ke tanah dan hanya memiliki satu pintu saja, sehingga setiap orang yang akan masuk dan keluar haruslah menunduk.
Perempuan-perempuan di Suku Dawan dididik demikian. Gaya berbicara mereka punya intonasi, tempo dan ritme yang sedikit lebih lambat. Saya menemukan beberapa orang yang masih memegang teguh didikan tersebut. Kemudian saya bertanya, mengapa ritme berbicara mereka seperti itu?
Jawaban yang saya peroleh dari semua orang tua yang saya tanyai sama. Jika mereka berbicara dengan tempo yang lebih cepat maka mereka akan dicap sebagai orang yang tidak memiliki sopan santun dalam berbicara.
Sebelum saya menulis artikel inipun saya harus menelepon ibu saya untuk meyakinkan apa yang ia pernah ceritakan pada saya bahwa zaman mereka masih remaja, mereka tidak diizinkan menggunakan baju berlengan pendek untuk bepergian ke luar rumah apalagi keluar kampung.Â
Bukan hanya itu, sarung dari kain tenunan yang mereka gunakan harus dibawah mata kaki. Dengan tampilan seperti itu, mereka dianggap perempuan yang sopan dan sederhana.
Hal inipun berpengaruh pada tahapan mereka menikah. Laki-laki yang melamar mereka harus datang dengan membawa Sirih Pinang dan menyampaikan maksud dan tujuannya kepada orang tua. Biasanya orang Dawan menyebutnya dengan istilah "Nao mat-mat". Kejujuran seorang laki-laki dianggap sebagai penghormatan kepada perempuan dan itulah yang dicari oleh orang Dawan.
Makanya pada zaman dahulu banyak proses kawin-mawin yang tidak melalui proses pacaran terlebih dahulu. Karena laki-laki sudah tahu mengawali dengan datang kepada orang tua membawa hati adalah kunci menaklukkan hati seorang perempuan.
Memang kadangkala ada pemaksaan dari orang tua kepada anak perempuannya untuk menerima laki-laki tersebut. Akan tetapi, pemaksaan mereka bukan tidak berdasar. Laki-laki yang "Nao mat-mat" dianggap sebagai sosok yang bertanggung jawab, datang melalui pintu, merunduk dan menyampaikan maksud dan tujuan.
Hal yang paling menarik adalah loteng, tempat penyimpanan makanan dalam rumah bulat hanya bisa dikelola oleh perempuan (istri). Saya sudah bahas ini di artikel Mengulas Status Perempuan Sebagai Ibu bagi Kehidupan Suku Dawan (Timor).
Akhirnya saya menyimpulkan bahwa, Simbol Harga Diri ini berarti ada larangan atau batasan kepada laki-laki tentang bagaimana cara memperlakukan perempuan. Juga untuk perempuan, ada batasan-batasan yang harus dipatuhi. Harus menjaga penampilan dan perilaku dengan tampilan sopan-santun dan bersahaja.
Salam!!!
Mauleum, 30 Januari 2020
Neno Anderias Salukh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H