Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mahar dalam Perspektif Suku Dawan (Timor)

28 Januari 2020   08:00 Diperbarui: 31 Januari 2020   14:41 10328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Laki-laki dan perempuan berbusana adat Timor | Foto Jeng Susan

Nusa Tenggara Timur (NTT) terkenal dengan belis (mahar). Kompasianer Reba Lomeh mengatakan bahwa cinta saja tidak cukup untuk menikahi perempuan Manggarai. Lalu bagaimana dengan Suku Dawan?

Mahar atau mas kawin adalah harta benda seperti benda-benda antik, ternak atau hewan yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan pada saat pernikahan. Di beberapa suku, berlaku sebaliknya, mahar diberikan oleh pihak mempelai perempuan kepada laki-laki.

Di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), mahar lebih akrab dengan sebutan belis. Belis pun merupakan sesuatu yang luar biasa bahkan mungkin mengerikan bagi orang-orang yang baru berkunjung di NTT. Apalagi bagi mereka yang memutuskan untuk menikahi gadis NTT.

Alor, terkenal dengan moko-nya. Seorang laki-laki yang ingin menikahi perempuan Alor maka ia harus menyiapkan moko untuk belis.

Di Flores, gading gajah merupakan salah satu harta benda yang harus diberikan sebagai belis. Sedangkan di bagian Manggarai Raya, baru-baru ini Kompasianer Reba Lomeh menulis sebuah artikel yang sangat informatif bahwa menikahi perempuan Manggarai tidak cukup dengan modal cinta.

Meski demikian, banyak orang mengakui belis di Sumba lebih mengerikan. Selain Mamoli, pihak mempelai laki-laki harus menyiapkan kerbau sebanyak yang ditentukan, biasanya tergantung kasta perempuan yang dinikahi.

Saat ini, masyarakat NTT sendiri ngeri dan takut dengan belis. Alasannya adalah benda-benda antik tersebut sudah semakin langka dan jika diuangkan, membutuhkan ratusan juta rupiah.

Oleh karena itu, sebagai orang yang besar dalam budaya Suku Dawan, saya seringkali mendapatkan pertanyaan dari teman-teman dari suku yang lain bahwa apakah orang Dawan memiliki belis? Ada juga yang langsung mengatakan bahwa orang Dawan pasti tidak memiliki belis padahal dia belum tahu.

Memang, belis untuk orang Dawan hampir tidak pernah terdengar di telinga orang lain. Salah satu penyebabnya adalah tidak ada belis fantastis yang mirip seperti beberapa suku yang saya ceritakan sebelumnya.

Belis dalam tradisi Suku Dawan memang ada. Kebanyakan orang menyebutnya dengan istilah "Oko" yang berasal dari kata Oko Mama. Penyebutan ini dikarenakan, belis selalu diberikan dengan "Oko Mama" sebagai penghargaan kepada pihak mempelai perempuan.

Belis orang Dawan identik dengan pemberian sejumlah uang atau satu ekor sapi atau lebih. Pemberian ini sebagai penghargaan kepada orang tua perempuan yang sudah berjerih lelah membesarkan anaknya atau yang disebut dengan air susu ibu. Hal ini disepakati bersama.

Akan tetapi, di bagian Sub Suku Amanuban dan Sub Suku Amanatun, sebagian besar masyarakatnya tidak meminta berapa jumlah belis yang harus diberikan pihak mempelai pria kepada pihak mempelai perempuan. Biasanya, pihak mempelai perempuan hanya berharap mempelai laki-laki datang layaknya sebagai seorang laki-laki. Artinya bahwa penghargaan kepada keluarga perempuan sebagai pelaksanaan adat yang sesungguhnya harus dijalankan.

Berulang-ulang kali saya hadir dalam beberapa pesta pernikahan orang Amanuban dan Amanatun, saya menemukan hal yang sama. Tidak ada tuntutan pemberian Belis, semua dikembalikan kepada pihak laki-laki. Memang, ada beberapa masyarakat yang meminta kepada pihak mempelai laki-laki untuk memberikan jumlah tertentu sebagai belis tetapi yang seringkali terjadi di kampung saya dan yang saya temukan di beberapa tempat lainnya di Amanuban dan Amanatun tidak membebani mempelai laki-laki.

Saya pernah bertanya kepada beberapa orang tua yang tidak meminta jumlah belis sedikitpun ketika anaknya menikah. Rata-rata jawaban yang saya peroleh sama.

Mereka merasa bahwa jika meminta jumlah belis yang besar maka mereka melihatnya sebagai cara halus menjual anak perempuan mereka. Menariknya, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan memiliki perspektif yang sama. Seringkali, jika pihak perempuan menuntut banyak belis dari pihak laki-laki maka mereka (orang tua perempuan) tidak diizinkan melakukan "Sen Nobif".

Artinya bahwa, selama belum melakukan Sen Nobif, tidak ada saling kunjung bahkan saling tegur dan senyum antara keluarga mempelai perempuan dengan keluarga mempelai laki-laki termasuk anak mereka sendiri.

Baca: Keramatnya Sen Nobif, Bagian Tradisi Pernikahan Adat Suku Dawan (Timor)

Hal tersebut menjadi ketakutan tersendiri bagi keluarga perempuan, apalagi anak mereka hanya satu orang. Mereka tidak akan tega membiarkan anaknya hidup seolah-olah tanpa keluarga.

Hal inipun rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Mereka tidak membiarkan anaknya mengalami kekerasan dalam rumah tangga sebelum Sen Nobif karena tidak ada wewenang dari keluarga untuk melindungi anak mereka.

Itulah perspektif Suku Dawan terhadap belis. Belis memang ada sebagai salah satu budaya Suku Dawan tetapi nominal atau jumlah belis tidak dapat ditentukan.

Salam!!!

Mauleum, 28 November 2020
Neno Anderias Salukh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun