Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ironi Penanganan Kasus Pidana di Timor Tengah Utara dalam Satu Dekade Terakhir

20 Januari 2020   19:05 Diperbarui: 21 Januari 2020   05:39 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam tulisan ini, saya tidak membela kejahatan apapun. Saya hanya membela status dan fungsi kepolisian.

Lagi, Kepolisian Resor Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) membuat sensasi, polemik dan kontroversi. Publik TTU seakan tak percaya keberadaan dan peran kepolisian di wilayahnya.

Dilansir dari Poskupang.com, Sabtu (18/1/2020) seorang perempuan berusia sekolah menengah atas hilang dari sekolahnya di Kabupaten TTU. Setelah ditelusuri, pihak kepolisian berhasil menangkap seorang pria bernama Rikon Kefi di Desa Mnelalete, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yang diduga menculik anak gadis tersebut.

Akan tetapi, pria asal Desa Hauteas, Kecamatan Biboki Utara, Kabupaten TTU ini berhasil melarikan diri dari ruang penyidikan. Ia berhasil kabur dari ruangan penyidik PPA tanpa sepengetahuan salah satu orang pun anggota Reskrim Polres TTU.

Peristiwa ini unik dan tentunya mengejutkan publik. Bahkan, tak sedikit yang bertanya-tanya, mengapa? Apakah pria tersebut yang terlalu hebat mengelabui polisi atau polisi yang terlalu lemah dan acuh tak acuh dalam pengawalan? Ataukah ada hal lain yang patut dicurigai?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya ingin kita flashback pada beberapa kasus yang pernah ditangani oleh Kepolisian Resor Kabupaten Timor Tengah Utara.

Desember 2015, terjadi sebuah kasus perselingkuhan yang melibatkan seorang ibu rumah tangga di Kabupaten TTU. Kasus tersebut diangkat sebagai bentuk pemerkosaan yang akhirnya membuat Kepolisian Sektor Manamas, Polres TTU menangkap Marianus Oki sebagai pria yang diduga melakukan tindakan asusila tersebut.

Marianus Oki ditahan didalam sebuah ruang tahanan sebelum menjalani pemeriksaan. Akan tetapi, nasib naas menimpa pria yang disapa Anus ini. Ia ditemukan tewas tak bernyawa di ruang tahanan oleh seorang Brimob yang kebetulan bertugas tak jauh dari Pos Polisi Manamas.

Dilaporkan, pada saat itu, tidak seorang polisi pun yang bertugas di Pospol. Kemudian kasus ini hanyalah misteri. Teka-teki yang tak pernah terpecahkan. Tak seorangpun yang mau bertanggung jawab atas kematian Marianus Oki. Hingga saat ini, kasus tersebut seakan dilupakan.

Kontroversi Marianus Oki bukan saja kematiannya tetapi menurut beberapa masyarakat di Kabupaten TTU, penangkapan terhadap Marianus Oki adalah sebuah kesalahan kepolisian, Marianus Oki dibela oleh beberapa pihak bahwa ia bukan tersangka atas kasus pemerkosaan tersebut.

Namun, kasus Marianus Oki tidak mengherankan. Pasalnya, ia mengikuti jejak Paulus Usnaat yang tewas di dalam Pos Polisi Nunpene, Kecamatan Miomaffo Timur, Kabupaten TTU. Paulus yang ditahan karena menghamili keponakannya ditemukan tewas tidak jauh dari dua anggota polisi yang sedang bertugas.

Paulus mengalami luka potong pada leher dan kemaluannya yang membuatnya rela menghembuskan nafas terakhirnya di lembaga yang dianggap melindungi masyarakat ini.

Terlepas dari segala polemik yang ada, saya harus berani mengemukakan keraguan publik terhadap kinerja Kepolisian Resor Kabupaten TTU dalam penanganan kasus-kasus pidana. Sepakatkah kita bahwa polisi terlalu lembek atau penyusup terlalu lemah? Saya pikir polisi terlalu lemah dalam hal ini. Menghilangnya Rikon Kefi memperkuat keraguan publik bahwa pos polisi hanyalah etalase bekas yang tak berharga.

Pos polisi yang seharusnya menjadi tempat perlindungan terhadap para pelaku pidana malah menjadi tempat paling aman untuk melakukan pembunuhan. Ini bukan soal kesalahan para tersangka (melakukan kekerasan terhadap perempuan) tetapi kinerja polisi yang akan berpengaruh terhadap kepercayaan publik.

Bagaimana jika kemudian Rikon Kefi terbukti bukan tersangka? Atau tidak ditemukan? Ataukah ia akan mengikuti jejak Paulus Usnaat dan Marianus Oki? Ataukah saya terlalu berlebihan? Menganalisis terlalu jauh dari segala kemungkinan? Saya pikir tidak, inilah analisis dan keraguan yang wajar.

Negara ini sudah memiliki kesepakatan hukum bahwa segala bentuk kejahatan pidana ada konsekuensinya. Memang, kadangkala hukum kita lebih manusiawi daripada kriminal yang terjadi tetapi itulah hukum kita. Darah tidak dapat dibayar dengan darah. Ironis memang, tetapi wajib dipatuhi dan ditaati oleh seluruh warga negara tanpa terkecuali.

Oleh karena itu, harapan penulis, kasus penculikan anak SMA yang sedang melibatkan Rikon Kefi sebagai pelaku dan beberapa pekerjaan rumah dalam kasus Paulus Usnaat dan Marianus Oki harus dibersihkan agar keraguan publik tidak berubah menjadi stigma.

Memang pelaku pembunuhan Paulus Usnaat sudah mendekam di penjara tetapi sisa-sisa skandal harus dibongkar demi citra kepolisian kembali kepada hakikatnya.

Salam!!!

Neno Anderias Salukh

Referensi: Satu; Dua; Tiga; Empat;

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun