Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ironi Kepunahan Rumah Daun

18 Januari 2020   07:58 Diperbarui: 18 Januari 2020   07:55 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurunnya rasa cinta manusia kepada rumah daun adalah sebuah ironi bagi saya. Rumah daun dicap sebagai rumah orang miskin.

Rumah adalah sebuah kebutuhan pokok yang harus dimiliki oleh manusia. Meskipun hanya sebatas goa batu, sejak zaman dahulu, manusia sudah menunjukkan kebutuhannya akan sebuah rumah.

Seiring berjalannya waktu, pembuatan rumah bertransformasi sesuai dengan kondisi dan letak geografis daerah. Misalnya di daerah-daerah yang rawan banjir rob, rumah yang dibuat adalah rumah panggung. Setingan rumah seperti ini untuk menghindari potensi air masuk ke dalam rumah atau dapat merubuhkannya.

Suku Dawan di Pulau Timor, membuat rumah sesuai dengan ketersediaan bahan baku. Atapnya dari daun (alang-alang dan daun gewang), kayu-kayunya dari pohon yang berukuran sedang atau ranting pohon dan lantainya berasal dari tanah yang dipadatkan.

Saya percaya, masing-masing suku di Indonesia tidak secara sembarangan membuat rumah atau tempat tinggal mereka. Mereka membuatnya sesuai dengan kebutuhan dan letak geografis daerah.

Pada zaman dahulu, masyarakat kita membuat atap rumah menggunakan daun seperti masyarakat Suku Dawan di Pulau Timor. Keuntungannya adalah mengurangi kebisingan pada musim hujan dan juga tetap sejuk pada musim panas. Bahkan, disebut sebagai rumah yang tidak memberikan efek negatif pada pemanasan global.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, masyarakat kita berupaya untuk menghilangkan rumah daun karena rumah daun disebut sebagai rumah orang miskin. Bahkan, rumah yang sudah melindungi masyarakat kita berabad-abad ini disebut sebagai tempat tinggal yang tidak layak.

Kehadiran rumah seng merupakan salah satu faktor utama masyarakat kita ramai-ramai meninggalkan rumah daun. Antara rumah seng dan rumah daun, rumah seng diberi label rumah orang berada.

Parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia pun patut disalahkan. Antara rumah daun dan rumah seng, rumah daun masuk dalam kategori miskin dan rumah seng bukan orang miskin.

Kemudian hal ini menjelma sebagai sebuah stigma. Naluri manusia jelas menolak label miskin yang diberikan oleh orang lain kepadanya sehingga ia akan berusaha untuk melakukan sesuatu yang menarik untuk mendapat pujian dari orang lain. Itulah masyarakat kita. Cenderung untuk memuaskan pandangan orang lain dari pada kebutuhan sendiri.

Padahal pembuatan rumah seng berpeluang mengeksploitasi lingkungan. Misalnya, kayu balok yang digunakan harus diambil dari pohon-pohon besar. Banyak hutan yang ditebang secara liar, hutan-hutan hilang. Bahkan, pepohonan dekat sumber air ditebang secara liar.

Dibandingkan dengan rumah daun, hanya mengambil bahan-bahan tertentu yang tidak merusak lingkungan begitu dasyat. Misalnya daun gewang dan alang-alang serta kayu-kayunya hanya dari ranting kecil. Pohon-pohon besar dan hutan aman, tidak dieksploitasi untuk kepentingan pembuatan rumah.

Akibatnya, saat ini kita harus merasakan pemanasan global yang begitu dasyat. Beberapa daerah sudah kesusahan air minum karena hutan yang diandalkan untuk menangkap air hujan sudah tiada.

Banjir yang terus mengintai beberapa daerah juga menjadi bukti bahwa populasi hutan yang sudah semakin mengecil tidak mampu lagi mengendalikan air hujan.

Fenomena ular kobra juga disebut sebagai bukti bahwa ular kehilangan habitat (hutan) rantai makanan rusak akibat hutan yang hilang, predator ular harus meninggalkan habitatnya.

Disisi lain, pohon-pohon gewang yang daunnya digunakan untuk atap ditebang; pohonnya diambil untuk pembuatan rumah seng. Tak heran, pohon gewang semakin langka sehingga sulit untuk membuat rumah beratapkan daun gewang.

Bukan hanya itu, alang-alang yang merupakan bahan yang paling banyak digunakan untuk pembuatan atap rumah di Pulau Timor sudah hampir punah. Kehadiran pohon gamal yang disebut sebagai pohon pagar menghilangkan populasi alang-alang.

Rundup, obat pembunuh tumbuh-tumbuhan liar di sekitar tanaman digunakan oleh para petani untuk menghilangkan alang-alang.

Sekejap semuanya hilang, kita terus dipaksa untuk membuat rumah seng agar terlihat kaya bukan miskin. Rumah daun hanya bisa dikenang dan kita juga harus siap menderita dengan ulah kita sendiri.

Salam!!!

Timor Tengah Selatan, 18 Januari 2020
Neno Anderias Salukh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun