Pedra Branca atau Pulau Batu Putih dikuasai oleh Singapura selama lebih dari satu abad. Kemudian pada 21 Desember 1979, Malaysia menerbitkan peta yang menunjukkan Pedra Branca sebagai wilayahnya. Akan tetapi, sengketa yang berakhir di Mahkamah Internasional ini memutuskan bahwa Pulau Batu Putih milik Singapura.
Hal yang paling memanas dan sering kali menimbulkan konflik adalah China yang masih menggunakan klaim atas beberapa wilayah tersebut (baik perairan dan daratan) di dalam "garis sembilan titik". Garis sembilan titik ini berdasarkan sejumlah catatan kuno sejarah dinasti-dinasti yang berkuasa di China daratan. Misalnya catatan sejarah yang mengatakan bahwa Kepulauan Spratly dan Paracel ditemukan oleh seorang petualang Cina pada masa Dinasti Song yang merupakan wilayah kedaulatan China.
Menurut laporan US Department of State, Luas klaim sembilan garis putus tersebut setara dengan 22 persen dari total wilayah darat Tiongkok, atau seluas 2.000.000 km persegi. Meski demikian, klaim China tidak menjorok ke laut teritorial Indonesia tetapi berimpitan dengan ZEE Indonesia.
Lain halnya menurut Li Guoqiang, Deputi Direktur Studi Perbatasan China di Akademi Ilmu Sosial China. Ia mengatakan bahwa 50.000 km persegi wilayah Indonesia ada yang tumpang tindih dengan wilayah klaim China. Artinya bahwa klaim ZEE Indonesia mengalami tumpang tindih dengan klaim garis sembilan titik oleh Pemerintah China.
Garis sembilan titik ini pernah diprotes oleh Filipina dengan melakukan proses arbitrase pada awal tahun 2013. Filipina melakukan ini lantaran China menguasai seluruh Kepulauan Spratly yang dinilai melanggar Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS).
Pada tanggal 12 Juli 2016, pengadilan arbitrase internasional di Den Haag Belanda memutuskan untuk tidak mengakui klaim garis sembilan titik yang dibuat oleh China dengan alasan tidak ada bukti bahwa China sudah lama berkuasa mengelola Sumber Daya Alam di kepulauan tersebut.
Oleh karena itu, alasan historis atau catatan sejarah yang digunakan oleh China untuk menguasai sebagian besar perairan China Selatan tidak relevan di mata hukum internasional.
Akan tetapi, pemerintah China melalui Presiden Cina Xi Jinping menolak putusan tersebut bahwa putusan tersebut hanya menggunakan hukum internasional tetapi mengesampingkan fakta sejarah sehingga garis sembilan titik tidak akan berubah-ubah.
Rupanya, garis sembilan titik inilah yang menjadi alasan China memasuki wilayah perairan Natuna meskipun mendapat teguran dari pemerintah Indonesia. Apakah sengketa ini akan berujung di Mahkamah Internasional?
Mari kita menyimak!
Salam!!!