Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gathering Bersejarah bagi TBM Dyatame di Akhir Tahun

27 Desember 2019   08:15 Diperbarui: 27 Desember 2019   08:11 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Empri Magi: Foto bersama dalam  gathering

Kegiatan ini bertujuan untuk mengajarkan toleransi kepada anak-anak sejak dini. Pertama, anak-anak diajar untuk bertoleransi dengan alam sekitar dengan hal-hal sederhana seperti membuang sampah pada tempatnya dan menggunakan botol air minum yang dapat diisi ulang.

Setidaknya hal tersebut menjawab pergumulan Indonesia yang untuk keluar dari zona merah penghasil sampah plastik terbesar di dunia.

Salah satu anak mengumpulkan sampah plastik | Dokumen Dyatame
Salah satu anak mengumpulkan sampah plastik | Dokumen Dyatame

Kedua, anak-anak diajar untuk menghargai perbedaan dengan menghadirkan tokoh agama Islam, Katholik dan Kristen yang merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Sumba Barat Daya.

Doa pembukaan dipimpin oleh Pater Pan dari Rumah Budaya Katholik, doa makan oleh Mbak Sari yang mewakili umat Muslim dan doa penutupan oleh Dosen Unwina, Pingky Leolede.

Selain itu, sharing toleransi dari Bripda Andy Halla (Muslim) dari polres Sumba Barat dan Vicaris Tami Lailogo  (Kristen) dari GKS Rajaka Lamboya.

Penukaran gelang toleransi | Dokumen Dyatame
Penukaran gelang toleransi | Dokumen Dyatame

Hal tersebut bertujuan untuk saling menghargai dan menghormati perbedaan. Apalagi di Indonesia yang merupakan negara yang penuh keberagaman suku, agama dan ras

Ketiga, Harus diakui bahwa seiring berjalannya waktu, budaya pun semakin melemah. Oleh karena itu, anak-anak diberikan kesempatan untuk mengenal budaya Sumba dengan mengeksplorasi artefak-artefak yang terdapat di rumah budaya Sumba sehingga budaya bukan tentang masa lampau tetapi budaya tetap dilestarikan sebagai sebuah kearifan lokal.

Penukaran gelang toleransi mewarnai sekaligus mengakhiri kegiatan yang dilakukan pada tanggal 15 Desember ini. Bagi Empri, hal ini sangat sederhana tetapi sangat sarat makna.

"Gelang diberikan satu persatu, kemudian para peserta gathering bertukar gelang sambil mengucapkan "Kita Indonesia" dan saling bersalaman. Bentuk toleransi yang sederhana namun sarat akan makna," tulis Empri dalam akun instagramnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun