Kegiatan ini bertujuan untuk mengajarkan toleransi kepada anak-anak sejak dini. Pertama, anak-anak diajar untuk bertoleransi dengan alam sekitar dengan hal-hal sederhana seperti membuang sampah pada tempatnya dan menggunakan botol air minum yang dapat diisi ulang.
Setidaknya hal tersebut menjawab pergumulan Indonesia yang untuk keluar dari zona merah penghasil sampah plastik terbesar di dunia.
Kedua, anak-anak diajar untuk menghargai perbedaan dengan menghadirkan tokoh agama Islam, Katholik dan Kristen yang merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Sumba Barat Daya.
Doa pembukaan dipimpin oleh Pater Pan dari Rumah Budaya Katholik, doa makan oleh Mbak Sari yang mewakili umat Muslim dan doa penutupan oleh Dosen Unwina, Pingky Leolede.
Selain itu, sharing toleransi dari Bripda Andy Halla (Muslim) dari polres Sumba Barat dan Vicaris Tami Lailogo  (Kristen) dari GKS Rajaka Lamboya.
Hal tersebut bertujuan untuk saling menghargai dan menghormati perbedaan. Apalagi di Indonesia yang merupakan negara yang penuh keberagaman suku, agama dan ras
Ketiga, Harus diakui bahwa seiring berjalannya waktu, budaya pun semakin melemah. Oleh karena itu, anak-anak diberikan kesempatan untuk mengenal budaya Sumba dengan mengeksplorasi artefak-artefak yang terdapat di rumah budaya Sumba sehingga budaya bukan tentang masa lampau tetapi budaya tetap dilestarikan sebagai sebuah kearifan lokal.
Penukaran gelang toleransi mewarnai sekaligus mengakhiri kegiatan yang dilakukan pada tanggal 15 Desember ini. Bagi Empri, hal ini sangat sederhana tetapi sangat sarat makna.
"Gelang diberikan satu persatu, kemudian para peserta gathering bertukar gelang sambil mengucapkan "Kita Indonesia" dan saling bersalaman. Bentuk toleransi yang sederhana namun sarat akan makna," tulis Empri dalam akun instagramnya.